Nationalgeographic.co.id—Xipe Totec merupakan dewa dari Suku Aztec sebagai dewa kesuburan, musim semi dan dewa perang yang dipuja dengan mengorbankan dan menguliti manusia. Ia juga merupakan dewa pelindung para pekerja logam, terutama tukang emas, pekerja batu permata, serta penyembuh penyakit, terutama yang menyerang mata.
Kulit terkelupas = Pembaruan/Hidup Baru?
Xipe Totec secara harfiah berarti 'Tuan Kami Yang Terkulit' - indikasi salah satu atribut utama dewa. Suku Aztec percaya bahwa Xipe Totec memakai kulit korban manusia. Ini seharusnya melambangkan lapisan kulit lama yang akan ditumpahkan, sehingga pembaruan bumi dapat terjadi.
Selain itu, penumpahan kulit juga dimaksudkan untuk melambangkan penumpahan kulit luar biji jagung. Ini terjadi ketika benih siap berkecambah, dan karena itu sekali lagi merupakan tanda kehidupan baru.
Pengorbanan Aztec untuk Menenangkan Xipe Totec
Karena karakteristik khas Xipe Totec, ritual seputar dewa ini memiliki kulit yang dikuliti sebagai elemen penting. Sebagai contoh, selama Tlacaxipehualiztli (artinya Mengupas Manusia), yang merupakan bulan ritual kedua dalam kalender Aztec, para pendeta Xipe Totec akan mempersembahkan korban manusia untuk menenangkan dewa, serta untuk memastikan bahwa mereka akan memilikinya.
Korban kurban ini, biasanya tawanan perang akan dibunuh dengan cara diambil jantungnya. Kulit mereka kemudian akan dikupas, diwarnai kuning, dan dikenakan oleh para pendeta, yang mengubah mereka menjadi gambar hidup dewa. Kulit yang diwarnai ini dikenal sebagai 'teocuitlaquemitl', yang berarti 'pakaian emas'.
Jenis pengorbanan lain yang ditawarkan kepada Xipe Totec melibatkan mengikat korban ke bingkai dan menembakkan panah ke arahnya. Darah yang menetes ke bawah, dimaksudkan untuk melambangkan hujan musim semi yang menyuburkan bumi.
Baca Juga: Aztec Percaya, Manisnya Cokelat Adalah Karunia dari sang Dewa
Baca Juga: Alih-alih Senjata atau Tentara, Cacar Meluluhlantakkan Suku Aztec
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR