Nationalgeographic.co.id—Sebelum Revolusi Industri, atmosfer masih belum tercemar oleh polutan buatan manusia. Setidaknya, itulah yang pernah diperkirakan oleh para ilmuwan.
Namun gelembung yang terperangkap di es Greenland mengungkapkan hal sebaliknya. Efek rumah kaca sudah ada setidaknya 2.000 tahun yang lalu.
Penelitian dilakukan oleh Célia Sapart dari Universitas Utrecht bersama 15 ilmuwan Eropa dan Amerika Serikat. Penelitian mereka memetakan tanda kimia metana dalam sampel es selama 2.100 tahun.
Gas metana secara alami terjadi di atmosfer dalam konsentrasi rendah. Tapi sekarang dianggap sebagai gas rumah kaca yang terlibat dalam perubahan iklim. Gas rumah kaca merupakan emisi dari tempat pembuangan sampah, peternakan besar, kebocoran pipa gas alam dan kebakaran pembukaan lahan.
Para ilmuwan sering mengukur kondisi iklim dan atmosfer masa lalu dari sampel es purba yang masih asli. Penelitian yang dilakukan oleh Sapart dan tim didasarkan pada inti es sepanjang 490 m yang diekstraksi dari lapisan es setebal 2,5 km di Greenland. “Lapisan es ini terdiri dari lapisan salju yang telah terakumulasi selama 115.000 tahun terakhir,” ungkap Sapart.
Sapart dan rekan-rekannya secara kimia menganalisis metana dalam gelembung udara mikroskopis yang terperangkap di setiap lapisan es. Peneliti ingin mengetahui apakah periode yang lebih hangat selama dua milenium terakhir meningkatkan tingkat gas. Tujuannya adalah untuk mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana musim panas di masa depan dapat meningkatkan metana di atmosfer. Dan pada akhirnya mempercepat perubahan iklim.
Para peneliti memang menemukan bahwa konsentrasi metana meningkat tetapi tidak sejalan dengan periode hangat. “Perubahan yang kami amati pasti berasal dari sesuatu yang lain,” kata Sapart.
‘Sesuatu yang lain’ itu ternyata adalah aktivitas manusia, terutama metalurgi dan pertanian skala besar. Aktivitas ini dimulai sekitar 100 Sebelum Masehi. Bangsa Romawi kuno memelihara ternak—sapi, domba, dan kambing—yang menghasilkan gas metana, produk sampingan dari pencernaan.
Sekitar waktu yang sama di Tiongkok, dinasti Han memperluas sawahnya. Ini juga menampung bakteri penghasil metana. Baik Tiongkok maupun Romawi memiliki pandai besi. Aktivitas para pandai besi ini juga menghasilkan gas metana ketika mereka membakar kayu untuk membuat senjata logam. Setelah peradaban-peradaban itu menurun, emisi secara singkat menurun.
Kemudian, ketika populasi manusia dan penggunaan lahan untuk pertanian meningkat di seluruh dunia selama berabad-abad. “Ini menyebabkan metana atmosfer perlahan naik,” Sapart mengungkapkan. Antara 100 Sebelum Masehi dan 1600 Masehi, emisi metana meningkat hampir 31 juta ton per tahun.
“Data inti es menunjukkan bahwa sejak zaman Kekaisaran Romawi, aktivitas manusia mengeluarkan cukup banyak gas metana. Ini berdampak pada jejak metana di seluruh atmosfer,” kata Sapart.
Meskipun tidak cukup untuk mengubah iklim, penemuan bahwa manusia telah mengubah atmosfer sejak ribuan tahun lalu cukup mengejutkan.
Penemuan ini akan membuat para ilmuwan untuk memikirkan kembali prediksi tentang bagaimana emisi metana akan memengaruhi iklim. “
Penambangan oleh bangsa Romawi juga meningkatkan konsentrasi timbal
Studi lain mengungkap bahwa kegiatan penambangan Romawi kuno meningkatkan konsentrasi timbal di atmosfer sepuluh kali lipat. Hal ini menyebabkan tingkat polusi udara yang jauh lebih parah di Eropa itu daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Temuan ini diperoleh setelah menganalisis inti es dari gletser di Mont Blanc. Di sana, penambangan logam sudah dilakukan sejak milennium ke-6 Sebelum Masehi. Bangsa Romawi mulai memproduksi timah secara massal untuk pipa air skala besar, perlengkapan rumah tangga dan benda-benda lainnya.
Penambangan dan peleburan logam berat yang ekstensif oleh orang Romawi melepaskan sejumlah besar asap beracun ke udara. Ini terjadi selama selama setengah milenium antara tahun 350 Sebelum Masehi dan 175 Masehi di Eropa.
Baca Juga: 'Brexit' Abad ke-5, Kondisi Britania setelah Romawi Angkat Kaki
Baca Juga: Bangsa Romawi Percaya Cermin Pecah Bisa Membawa Petaka, Apa Alasannya?
Baca Juga: Liontin Perak Romawi Kuno Berbentuk Penis Ditemukan di Inggris
Baca Juga: Bangsa Romawi Ternyata Tidak Sebersih yang Dibayangkan, Ini Buktinya
Bahkan dalam jumlah yang relatif kecil, timbal merupakan pencemar lingkungan yang sangat beracun. Timbal bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang parah pada manusia, terutama anak-anak. Tentu saja, orang Romawi kuno tidak menyadari hal ini, sehingga mereka terus mencemari lingkungan. Secara perlahan, pencemaran ini meracuni diri mereka sendiri dalam prosesnya.
Emisi timbal selama zaman kuno melampaui tingkat alami timbal di lingkungan Eropa dengan faktor 10. “Ini ditunjukkan oleh sampel es pegunungan,” kata Michel Legrand, seorang ilmuwan atmosfer di Université Grenoble Alpes.
Hasilnya sangat mencolok mengingat saat itu belum ada penggunaan bensin bertimbal pada kendaraan. “Sebagai perbandingan, tingkat timbal alami oleh penggunaan bensin di Eropa menghasilkan faktor 50-100,” ungkap Legrand.
Timbal pada inti es di Greenland yang terbentuk selama periode Romawi menunjukkan efek buruk penambangan. Pertambangan Romawi ‘mengirim’ polusi secara meluas ke seluruh Eropa. Bahkan ke daerah terpencil di mana tidak ada orang Romawi yang pernah menginjakkan kaki.
Dengan kata lain, orang-orang mulai mencemari lingkungan jauh sebelum Revolusi Industri.
“Tujuan penelitian,” kata Legrand, “adalah untuk menunjukkan dampak manusia di atmosfer selama ribuan tahun.”
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR