Oleh Ady Setyawan—Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos
Nationalgeographic.co.id—Tiba di Surabaya, kami disambut oleh banyak kawan. Suatu hal yang masuk akal karena baik saya maupun Hadi Saputro sama-sama berasal dari Kota Pahlawan ini. Sebagian besar yang hadir adalah kawan dan senior-senior kami di ITS juga dari rekan-rekan komunitas sejarah Roodebrug Soerabaia. Kami berkumpul di Cafe Kayoon Heritage jam delapan pagi kemudian meluncur menuju beberapa tempat, salah satunya adalah bekas kawasan Benteng Prins Hen-drik.
Benteng Prins Hendrik kini tidak menyisakan sebongkahpun sisa kejayaannya, benteng yang dibangun pertengahan abad ke-19 ini tak berumur lama. Perkembangan teknologi artileri yang berkembang signifikan membuat model benteng pertahanan yang dikelilingi parit menyudahi masa kejayaannya. Metode pertahanan berganti menjadi perbentengan yang berderet meman-jang pantai, satu yang tersisa dari model pertahanan pantai hingga kini adalah Benteng Ke-dungcowek.
Kembali ke Benteng Prins Hendrik yang kini hanya menyisakan toponimi nama jalan dian-taranya : Jalan Benteng, Jalanl Benteng Miring dan Jalan Benteng Dalam. William Barrington mencatat situasi Benteng Prins Hendrik sekitar tahun 1860 dalam bukunya yang berjudul Life in Java With The Sketches of The Javanese, diantaranya adalah adanya terowongan-terowongan bawah tanah yang mengarah ke tempat-tempat pertahanan lainnya hingga ke batas kota.
Dari peta diatas bisa kita amati bahwa Benteng Prins Hendrik menjadi pusat dari bastion-bastion pertahanan yang mengitari kota Surabaya. Asumsi pribadi penulis : terowongan terse-but dibangun diantaranya menuju titik-titik pertahanan terluar.
Benteng Prins Hendrik yang dibangun era Van den Bosch ini berakhir masanya tahun 1895, kemudian sempat dijadikan penjara khusus wanita dan gudang militer. benteng ini dihancurkan total tahun 1930.
Ketika saya mengunggah keterangan tentang jalur bawah tanah dari Benteng Prins Hendrik, banyak komentar yang menanyakan tentang keberadaan bangunan-bangunan bawah tanah kuno atu bunker dan kemungkinan terhubungnya satu bunker menuju bunker lainnya. Rupanya ada ingatan turun temurun, sebuah kisah tutur yang tercampur antara satu masa dengan masa lainnya dalam masalah ini.
Hampir satu dekade setelah Benteng Prins Hendrik dirobohkan total, pada tahun 1939 berdirilah Dinas Pemerintah bernama Luchtbescherming Dienst atau biasa dikenal dengan nama LBD yang mengatur tentang bahaya serangan udara berikut pembangunan bunker-bunker per-lindungan. Terkait hal ini kami mewawancara M. Ryzki Wiryawan, dosen pengajar Ma'soem University yang juga pendiri komunitas sejarah Aleut Bandung. Ia memiliki sebuah buku ber-judul Raksa Djomantara Luchtbescherming yang berisi tentang panduan bahaya serangan udara.
Aturan-aturan dari buku yang berbahasa Sunda tersebut berlaku menyeluruh bagi kawasan yang diduduki Belanda. Hal ini terbukti dari kesamaan ini dalam buku tersebut dengan artikel surat kabar De Koerier tertanggal 4 Januari 1940 dengan judul Luchtbeschermingdienst.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR