Oleh Ady Setyawan—Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos
Nationalgeographic.co.id—Di sepanjang pulau Jawa, setidaknya sejak abad ke-19, bangunan seperti ini menghiasi setiap desa di Jawa. Dalam bahasa Belanda disebut wachthuisje, orang kita biasa menyebutnya gardu jaga. Bangunan ini ditempatkan pada pertigaan atau perempatan jalan sebagai gerbang masuk kampung. Ada pula yang ditempatkan di tepian satu-satunya jalan memasuki pemukiman desa.
Tim ekspedisi Jelajah Tiga Zaman sangat sulit menemui gardu jaga yang masih bertahan di kota-kota besar. Biasanya bangunan itu tersisa di kota-kota kecil. Antara Kota Sidoarjo hingga Probolinggo, penampakan gardu ini relatif mudah dijumpai. Kendati demikian, hampir seluruhnya dalam kondisi kurang terawat.
William Barrington d'Almeida mencatat jurnal perjalanannya di Jawa dalam Life in Java: With Sketches of the Javanese, Volume 1, yang terbit pada 1864. Dia mendeskripsikan bangunan gardu jaga sebagai berikut :
Bangunan ini berupa sebuah gubuk kecil dengan atap dari daun aren. Gardu ini hanya memiliki tiga sisi dinding yang disematkan pada tiang yang ditancapkan pada tanah sehingga terbuka pada sisi bagian depan. Terkadang ada gardu yang tidak memiliki atap. Di kota-kota besar,gardu-gardu ini dibangun dengan konstruksi lebih kuat. Mereka memiliki atap genteng dan bukannya atap daun aren. Selain itu mereka memiliki dinding tembok. Di depan bangunan ini ada sebuah cantelan senjata, terutama senjata Jawa.
Meskipun benda-benda tersebut sederhana, saya tidak dapat mengabaikannya. Tiga alat yang nampaknya sangat diperlukan untuk digunakan penjaga adalah bunday, tombak dan garu. Bunday adalah sebuah tongkat yang panjangnya sekitar 1,2 meter, di bagian atas tongkat ini, dua potongan kayu diikatkan. Kayu ini diletakkan sedemikian rupa sehingga dapat bertemu dalam sudut tajam yang terbuka pada bagian ujungnya seperti rahang buaya yang menganga. Senjata ini sangat mirip dengan rahang buaya karena memiliki duri-duri tajam, terlihat seperti deretan gigi buaya. Mereka berfungsi sebagaimana yang diinginkan yaitu menahan penjahat yang dilingkari senjata ini agar tidak melarikan diri. Senjata ini akan menimbulkan luka yang mengerikan jika penjahat berupaya berontak.
Pria yang membawa tongkat buaya ini bertugas mengejar tersangka dengan kecepatan penuh lalu mendorongkan senjatanya ke arah leher, pinggang atau kaki. Umumnya orang yang merasakan anggota badannya dikelilingi duri tajam akan segera berhenti. Namun jika ia seorang dengan tekad kuat atau tidak merasakan rasa sakit maka tombak akan digunakan. Senjata unik ketiga adalah garu. Senjata ini konstruksinya sederhana, bentuknya seperti garpu rumput namun ujungnya sengaja dibuat tumpul, senjata yang bentuknya paling ramah diantara senjata-senjata lainnya. Garu ini digunakan sebagai senjata yang pertama dengan tujuan membuat lawan berlutut. Ruang terbuka antara gigi garpu dimasukkan pada sendi lutut dari arah belakang.
Ada benda lain lagi yang menarik terlihat di dekat gardu. Benda ini disebut kentongan atau tong-tong. Sebutan ini seperti suara yang dihasilkan ketika ia dipukul. Instrumen ini terbuat dari potongan batang pohon dengan panjang lebih kurang 1 meter dengan diameter sekitar 30 cm. Benda ini dilubangi tegak lurus pada bagian tengahnya, kemudian digantungkan pada sebuah cantelan kayu. Cara membunyikan dengan dipukul menggunakan potongan kayu tebal. Jika ada tanda bahaya, maka kentongan yang dipukul pada satu pos jaga akan terdengar dengan cepat ke pos jaga lainnya, dengan demikian berita tersebar dengan cepat.
Peneliti BRIN dan Inggris Berkolaborasi Mengatasi Permasalahan Sampah Plastik di Indonesia
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR