Nationalgeographic.co.id—Seperti biji jagung yang muncul di penggorengan, butiran debu kecil dapat melompat-lompat di permukaan asteroid. Pernyataan itu terungkap menurut sebuah studi baru dari fisikawan di University of Colorado Boulder. Efek seperti popcorn itu bahkan dapat membantu merapikan asteroid yang lebih kecil. Sehingga menyebabkan mereka kehilangan debu dan terlihat kasar juga terjal dari luar angkasa.
Para peneliti menerbitkan hasil studi mereka pada 11 Juli di jurnal Nature Astronomy. Laporan itu mereka beri judul Fine-grained regolith loss on sub-km asteroids. Dengan adanya temuan ini, para ilmuwan lebih memahami bagaimana asteroid berubah bentuk dari waktu ke waktu. Mengungkap bagaimana benda-benda ini bermigrasi melalui ruang angkasa. “Di mana benda tersebut, juga terkadang berada sangat dekat dengan Bumi,” kata Hsiang-Wen (Sean) Hsu, penulis utama studi tersebut.
"Semakin banyak material berbutir halus atau regolith asteroid ini hilang, maka semakin cepat mereka bermigrasi," kata Hsu, rekan peneliti di Laboratory for Atmospheric and Space Physics (LASP) di CU Boulder.
Pada tahun 2020, sebuah pesawat ruang angkasa NASA bernama OSIRIS-REx melakukan perjalanan lebih dari 1 miliar mil untuk bertemu dengan asteroid (191055) Bennu. Asteroid ini memiliki tinggi kira-kira setinggi Empire State Building. Tetapi ketika pesawat ruang angkasa itu tiba, para ilmuwan tidak menemukan apa yang mereka harapkan. Permukaan asteroid itu tampak seperti amplas kasar, tidak halus. Permukaannya juga berdebu. Ini tidak seperti yang diperkirakan para peneliti. Bahkan ada batu-batu besar yang tersebar di bagian luarnya.
Hsu dan rekan-rekannya telah menggambar simulasi komputer, dan eksperimen laboratorium untuk mengeksplorasi teka-teki itu. Dia mengatakan bahwa kekuatan yang mirip dengan listrik statis mungkin menendang butiran debu terkecil ke luar angkasa. Bahkan beberapa tidak lebih besar dari satu bakteri. Lalu hanya menyisakan batu yang lebih besar saja.
Bennu tidak sendirian, kata rekan penulis studi Mihály Horányi. "Kami menyadari bahwa fisika yang sama ini terjadi pada benda tak berudara lainnya seperti bulan dan bahkan cincin Saturnus," kata Horányi, seorang peneliti di LASP dan profesor fisika di CU Boulder.
Asteroid mungkin terlihat seperti membeku dalam waktu, tetapi benda-benda ini berevolusi sepanjang masa hidup mereka. Hsu menjelaskan bahwa asteroid seperti Bennu terus berputar, yang memaparkan permukaannya ke sinar matahari. Siklus pemanasan dan pendinginan yang tidak pernah berakhir itu membebani batuan terbesar di permukaan, sampai akhirnya retak.
"Itu terjadi setiap hari, setiap saat," kata Hsu. "pada akhirnya mengikis sepotong batu besar menjadi potongan-potongan kecil."
Dalam beberapa kasus, butiran debu tersebut dapat menyembur dengan lebih dari 8 meter per detik. "Tidak ada yang pernah mempertimbangkan proses ini di permukaan asteroid sebelumnya," kata Xu Wang, seorang rekan peneliti di LASP.
"Gravitasi pada asteroid yang lebih kecil sangat lemah sehingga tidak dapat menahan pelarian," kata Hsu. "Regolith berbutir halus akan hilang."
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR