Nationalgeographic.co.id—Kehidupan politik di Indonesia sejatinya selalu diwarnai dengan kritik-kritik pedas dan peran mahasiswa yang melontarnya. Hal itu juga pernah terjadi sebelum Indonesia menemui kemerdekaannya.
Sebuah laporan dikirimkan oleh Procureur-Generaal atau Jaksa Agung Hindia Belanda, R.J.M. Verheijen kepada Gubernur Jenderal De Jonge. Laporan itu berisikan kekhawatiran volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) terhadap sikap mahasiswa.
Rosihan Anwar menulis tentang aksi politik para mahasiswa terhadap Volksraad dalam bukunya berjudul Sejarah Kecil "petite histoire" Indonesia yang terbit pada tahun 2004.
Kehadiran mahasiswa Rechts Hoogeschool (RHS) dalam sidang umum Dewan Rakyat (Volksraad) di tahun 1932 menimbulkan kontroversi. "Beberapa anggota Volksraad bahkan menyatakan tidak setuju dengan sikap para mahasiswa," tulisnya.
Procureur-Generaal menilai nada bicara mahasiswa selalu tinggi saat dihadirkan dalam persidangan. Tampaknya, sentimen mahasiswa terhadap Volksraad tidak sebatas dalam persidangan saja.
Para mahasiswa RHS turut aktif dalam beberapa penulisan dalam surat kabar dan majalah. Selin itu, mereka juga memiliki majalah sendiri: Indonesia Raja (Indonesia Raya).
Salah satu tulisan dalam majalah tersebut sangat tidak menyenangkan pihak pejabat Hindia Belanda, utamanya anggota Volksraad. Dalam majalah yang diterbitkan nomor Agustus/September 1932 itu, kritik pedas dilontarkan.
Sebuah tulisan berjudul "Slavenzielen of huichelaars" (Jiwa budak atau munafik) termuat dalam Indonesia Raja edisi tersebut. Para mahasiswa mengecam dua Volksraad telah bersikap munafik.
"Kemungkinan lain ialah bahwa tindakan tuan-tuan Wiranatakoesoema dan Mas Soetardjo itu bersifat munafik terhadap pemerintah Hindia Belanda," tulis mahasiswa RHS dalam majalahnya.
Tudingan dan tuduhan terlontar terang-terangan tentang anggaran marine kaitannya dengan kapal penjelajah yang belum sempat mencukupi keuntungan pribadi kedua Volksraad itu.
Awalnya mereka dianggap berpihak pada kalangan pribumi dalam menyuarakan anggaran marine terhadap pemerintah Hindia Belanda. Setelahnya, Volksraad itu diduga berbelok dan memihak kepada pemerintah Hindia Belanda demi kepentingan pribadinya.
Menurut para mahasiswa, R.A.A. Wiranatakoesoema dianggap berbelok ke pihak Hindia Belanda setelah bersedia menghadiri peresmian monumen Van Heustz.
Pada bagian akhir kritiknya, mereka menulis: "lebih tepat memberikan gambaran mengenai mentalitas budak mereka ketimbang tabiat priyayi mereka."
Mahasiswa RHS juga mengetahui bahwa Volksraad selalu menuliskan slogan dan prinsip mereka dalam majalahnya dengan bunyi: "tabiat (Volksraad) sebagai pemimpin."
R.A.A Wiranatakoesoema dan Mas Soetardjo menyatakan di hadapan Jaksa Agung Hindia Belanda untuk memberikan hukuman kepada mahasiswa terhadap sikap mereka yang kerap menciderai citra Volksraad.
Ia juga membela diri bahwa kehadirannya dalam peresmian patung Van Heustz semata-mata sebagai bagian dari kunjungan kerja, tidak lebih kepada kecenderungan politik.
Namun, Verheijen menolak pendapat itu dan gugatannya tentang pidana terhadap aktivis majalah Indonesia Raja tidak kuat secara hukum. Hal inilah yang membuat mahasiswa menang dengan kritik pedas mereka terhadap kedua Volksraad itu.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Sejarah Kecil "petite histoire", Jilid 1 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR