DNA diekstraksi oleh mahasiswa Ph.D. di Universitas Adelaide, Xavier Roca-Rada, yang mengatakan, "analisis genetik dilakukan untuk memetakan secara komputasi fragmen DNA yang terdegradasi dari kromosom X dan Y ke genom manusia referensi."
Mengingat keadaan spesimen yang terpelihara dengan baik, para peneliti juga dapat menentukan ciri-ciri fisik dalam kerangka yang sesuai dengan sindrom Klinefelter.
"Mengingat keadaan DNA yang rapuh, kami mengembangkan metode statistik baru yang dapat memperhitungkan karakteristik DNA purba, dan pengamatan kami untuk mengonfirmasi diagnosis," tutur Dr. Teixeira.
"Sementara penelitian ini menawarkan bukti kuat untuk sejarah genetik sindrom Klinefelter, tidak ada implikasi sosiologis yang dapat ditarik dari diagnostik ini," tambahnya.
Para peneliti menyarankan untuk meningkatkan metode baru mereka dalam menganalisis kerangka khusus ini. Sehingga dapat mempelajari kelainan kromosom yang berbeda pada spesimen arkeologi lainnya, termasuk sindrom Down.
Hasil temuan ini telah dipublikasikan di jurnal The Lancet pada 27 Agustus 2022 dengan menyertakan judul A 1000-year-old case of Klinefelter's syndrome diagnosed by integrating morphology, osteology, and genetics.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR