Nationalgeographic.co.id—Payung tak sekadar menepis sengatan surya, tetapi juga memberi ruang pada bayang-bayang status sosial dan gaya hidup pamer warga Batavia. Bahkan, perkara pemakaian payung menjadi urusan gubernur jenderal.
Tidak keliru apabila orang berkata, melukis adalah cara lain menuliskan buku harian. Pun, setiap lukisan memiliki perjalanan ceritanya sendiri. Kita sepatutnya berterima kasih kepada pelukis-pelukis yang merekam tanda-tanda zaman. Berkat mereka, kita bisa menyaksikan kisah-kisah peradaban pada abad-abad yang silam.
Rijkmuseum di Amsterdam, memajang koleksi sebuah lukisan karya seniman Jacob Janssen Coeman pada 1665. Dia melukis seorang direktur jenderal VOC bernama Pieter Cnoll dan istrinya yang peranakan Jepang-Eropa, Cornelia van Nijenroode. Keduanya dilukis bersama anak mereka Catharina dan Hester. Tampaknya, Coeman memberikan nuansa pelesiran pesisir dalam lukisannya.
Namun, ada perkara yang menarik dalam lukisan ini. Ada budak lelaki di latar belakang, yang sejatinya sangat jarang dilukis dalam satu bingkai bersama majikannya. Dia adalah Untung Surapati, yang memanggul payung. Tampak dalam lukisan, Untung sedang bercanda dengan budak perempuan yang membawa senampan buah-buahan.
Lukisan koleksi Rijkmuseum sezaman lainnya menampilkan penggunaan payung yang lebih jelas di Batavia. Andries Beeckman menghadirkan suasana bertajuk Hoenderpasar, atau Pasar Ayam pada 1665. Lukisan ini berlokasi di tepian barat Kali Ciliwung, kini tak jauh dari jembatan jungkit “Kota Intan”. Latar lukisan itu menampilkan Kastel Batavia nan megah. Di balik kastel itu atap-atap bangunan kediaman dan kantor gubernur jenderal tampak menyeruak.
Di bawah naungan pohon-pohon kelapa, Beeckman merekam detail kebinekaan penghuni Batavia pada lima dekade pertamanya. Tampak orang-orang Ambon menarikan tarian perang Cakalele, perempuan bumiputra dan anaknya yang menggelar lapak buah-buahan, orang-orang Tionghoa bersalaman dan berbaur dengan bumiputra. Dari hiruk-pikuk pasar, tampak di latar depan seorang lelaki Belanda menggandeng istrinya yang seorang Indo. Keduanya berjalan-jalan, sementara seorang budak setia mengikuti mereka sambil memegang payung yang melindungi keduanya. Dari bayang-bayang, suasananya sekitar lewat tengah hari.
Pamer kekayaan di depan publik sudah menjadi kebiasaan dalam pemerintahan Batavia pada abad ke-17. “Payung ini dimaksudkan di satu sisi untuk melindungi mereka dari sinar matahari tropis yang keras,” ungkap Marsely L. Kehoe. Kemudian ia melanjutkan, “Dan, di sisi lain berfungsi sebagai simbol status, aspek yang digarisbawahi oleh kehadiran budak.”
Pada 1647, menurut Kehoe, sejatinya penanda status seperti menggunakan budak untuk memayungi telah dilarang untuk semua warga Batavia, kecuali pejabat tertinggi VOC—yaitu gubernur jenderal dan dewannya. Warga lainnya boleh menggunakan payung hanya jika memegangnya sendiri.
Kehoe mengungkapkan dalam Dutch Batavia: Exposing the Hierarchy of the Dutch Colonial City, yang terbit di laman Journal of Historians of Netherlandish Art, Volume 7.1 pada 2015. Saat itu ia sebagai Mellon Post-Doctoral Fellow pada Department of Art History and Archeology, Columbia University.
Menurutnya, Batavia merupakan kota yang dibangun sebagai pusat administrasi dan budaya Belanda di Asia Tenggara untuk VOC. Perencanaan tata kehidupan kotanya mengadopsi tata kehidupan kota-kota di Belanda, bahkan Batavia telah dirancang demi mengamankan dominasi Belanda. “Lingkungan binaan merupakan penentu penting perilaku sosial, khususnya segregasi, di kota kolonial Batavia,” ungkapnya.
Kohoe mengungkapkan juga sosok orang Belanda yang melanggar aturan tahun 1647. Komandan armada VOC Jakob Martensen—dan istrinya—kendati busananya tampak sederhana, mereka telah melanggar aturan gara-gara payung dipegang oleh budak. “Tampaknya mereka ingin digambarkan melakukan hal itu [memerintahkan budak untuk memayungi] yang secara lahiriah menegaskan dominasi mereka terhadap unsur warna lokal.”
Lilie Suratminto menjelaskan kepada saya tentang asal-usul kebiasaan memakai payung yang dipegang oleh budak. “Menurut pengamatan saya,” ungkapnya, “kebiasaan memakai payung itu erat hubungannya dengan para pembesar pribumi yang setiap ada acara kirab dengan berjalan kaki selalu dipayungi kebesaran.”
Lilie merupakan seorang peminat kajian bahasa dan budaya Belanda, serta pemerhati warisan budaya kolonial. Kini, Dekan Fakultas Sosial Humaniora, Universitas Buddhi Dharma, Tangerang.
Orang-orang Eropa yang menghuni Batavia, pasti merasakan panas nan terik di pesisir tropis ini. Satu-satunya cara untuk berlindung dari sengatan sinar matahari adalah dengan payung, demikian ungkap Lilie. “Para pejabat kolonial berlaku seperti para bendara pribumi,” imbuhnya, “jadi harus dipayungi oleh abdi dalem—atau budak.”
“Jadi berjalan dengan dipayungi oleh pengawal merupakan prestise bagi mereka yang merasa seperti raja di negeri jajahan,” ungkapnya. “Padahal mereka ini di negerinya sendiri mungkin dipandang mata sebelah.”
Bagaimana tradisi payung di Eropa dan Nusantara? Menurut Lilie, Eropa memiliki kebiasaan memakai payung sebagai pelindung hujan. Bentuk payung Eropa berbeda dengan payung Nusantara, dan umumnya berwarna hitam. Sementara itu payung Nusantara cenderung warna-warni dan bahan awalnya berasal dari kertas. “Seni pembuatan payung ini mungkin ada kaitannya dengan pengaruh Cina,” ujarnya. “Raja-raja dan para pembesar mempunyai payung khusus yang dipakai saat upacara resmi.”
Orang-orang Mesir, Mesopotamia, Yunani, dan Cina telah menggunakan payung untuk memberi keteduhan dari sinar matahari sejak 4.000 tahun silam. Kata “umbrella” dalam bahasa Inggris yang berarti payung, berasal dari bahasa Latin “umbra” yang berarti bayangan. Dari sekian peradaban di dunia, orang Cina telah menemukan payung kertas tahan air pertama sebagai perlindungan dari hujan.
Pejalan dan pelukis asal Amsterdam, Johan Nieuhof, juga menampilkan sosok warga Batavia yang dipayungi oleh seorang budak. Dia pernah menjadi delegasi VOC untuk Kaisar Cina pada 1655-1658. Salah satu litografinya mengisahkan pemandangan sebuah panti asuhan di Batavia pada 1682, bertajuk T’ Weeshuys op Batavia.
Nieuhof menampilkan pemandangan sebuah wisma yatim-piatu yang pernah merawat anak-anak telantar di Batavia sejak 1662 sampai 1725. Adolf Heuken dalam Tempat-tempat bersejarah di Jakarta, yang diterbitkan Yayasan Cipta Loka Caraka pada 2016, mengungkapkan riwayat wisma ini. Dahulu, menurutnya, wisma ini berada di Jalan Orpa, yang bermakna Jalan Yatim-Piatu. Namun kini jalan itu berganti nama menjadi Jalan Roa Malaka II, “sehingga warna sejarah hilang.”
Ada beberapa adegan menarik yang direkam Nieuhof. Pemandangan anak-anak panti asuhan—yang dalam litografi ini berseragam hijau—sedang bercengkerama dengan sesama dan satwa di pekarangan. Namun, terdapat dua adegan paling menarik untuk disimak.
Adegan di sisi kiri, karyanya menjadi karya tertua yang menampilkan permainan bulu tangkis. Adegan di sisi kanan, dia merekam empat perempuan, salah satunya perempuan terhormat yang memberikan sedekah kepada seorang anak panti asuhan. Perempuan itu dipayungi oleh seorang pengiringnya. Selain itu terdapat perempuan lain dalam adegan itu yang dipayungi oleh seorang budak bumiputra. Apabila kita menyaksikan busana dan payung yang dikenakan, para perempuan itu bukanlah warga biasa.
Perkara payung dan warga Batavia yan g kian menggaya ini sampai-sampai menjadi urusan VOC. Tampaknya gaya berbusana dan berpayung seperti itu bisa melanggar norma kesopanan, yang sekaligus bisa merusak populasi minoritas Belanda di kota itu.
Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1704-1761) merupakan salah satu pejabat yang begitu gandrung dengan peraturan untuk warga Batavia. Sang gubernur yang menjabat dalam periode 1750-1761 itu menerbitkan serangkaian aturan berdasar pangkat seseorang dalam VOC—yang kelak dikenal dengan ‘Kode Mossel’.
Herald van der Linde mengungkapkan sepak terjang Mossel dalam bukunya bertajuk Jakarta: History of a Misunderstood City, yang diterbitkan Marshall Cavendish International pada Maret 2022. “Ia mengamankan dirinya sendiri dalam sejarah,” tulisnya. Mossel membuat etiket yang detail termasuk sebuah aturan yang disebut "Aturan tentang Perayaan Resmi dan Megah" yang diterbitkan pada 30 Desember 1754.
“Ada peraturan yang menyatakan bahwa hanya orang yang lebih tinggi dari pangkat pedagang kecil VOC yang boleh membawa payung,” ungkap Linde, “meskipun perempuan Eropa juga diperbolehkan menggunakannya.”
Ada kelonggaran penggunaan payung dibanding aturan sebelumnya. Mossel mengizinkan pedagang yunior untuk dipayungi oleh seorang budak. Istri-istri prajurit rendahan dan prajurit-prajurit pribumi, Cina dan Islam, boleh menggunakan payung. Selebihnya, orang yang menggunakan payung harus membawa sendiri.
Peraturan lain yang digagas Mossel adalah jumlah kuda yang diperbolehkan untuk menarik kereta, lagi-lagi berdasarkan pangkat VOC. Penggunaan kereta kaca hanya diperuntukkan oleh gubernur jenderal. Bahkan soal kancing busana pun gubernur jenderal mengaturnya, hanya pria berpangkat pedagang atas yang diizinkan mengenakan pakaian dengan kancing.
“Kode Mossel adalah kode yang mengikat tampilan kekayaan dan status ke peringkat dalam hierarki VOC,” ungkap Linde.
Sebelum Mossel menjabat sebagai gubernur jenderal, seperti apakah pemakaian payung di Batavia? Nicolas de Graaff pertama kali menyaksikan Kota Batavia pada akhir 1640. Setidaknya dia telah melakukan perjalanan dari Belanda ke Hindia Timur sebanyak lima kali. Dia merupakan ahli bedah di kapal VOC, seniman lukis, dan penulis kisah perjalanan.
Jean Gelman Taylor, menulis tentang pamer kemewahan itu di dalam bukunya Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia yang diterbitkan oleh The University of Wisconsin Press pada 1983. Edisi bahasa Indonesianya berjudul Kehidupan Sosial di Batavia, yang diterbitkan Masup Jakarta pada 2009. Di buku itu Taylor mengutip catatan Graff.
Tidak seperti pelancong lain yang mengisahkan keindahan dan kesyahduan Batavia dengan kanal-kanalnya, Graaff justru mengisahkan tentang perilaku perempuan di Batavia yang kadang terkesan memalukan. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan perempuan di Hindia Timur baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.
Pelukis ternama lainnya yang mengabadikan banyak sosok berpayung adalah Johannes Rach, seorang pelukis asal Denmark yang bekerja untuk VOC. Sosok berpayung itu tampil dalam lukisannya, baik bersama budak maupun memegang payung sendiri. Rach menghuni Batavia sejak 1762 sampai wafatnya pada 1783. Boleh jadi, dia telah mengekalkan pemandangan Batavia pada akhir abad ke-18, jelang kebangkrutan kongsi dagang itu.
Salah satu lukisannya menggambarkan suasana benteng Ancol, sekitar lima kilometer dari Batavia. Rach menampilkan seorang perwira VOC yang sedang menginspeksi bangunan itu. Dia bersama budaknya yang memegang payung, semendata budak lainnya menjaga kudanya di seberang kanal Ancol. Tampaknya perwira itu disambut oleh komandan benteng, yang mengenakan kuncir wig, sembari menjelaskan situasinya.
Lukisan lainnya menampilkan suasana pagi di jantung Batavia, lapangan balai kota atau Stadhuisplein yang di kelilingi pohon kenari. Rach menggambarkan bangunan Balai Kota Batavia dan air mancurnya. Ada pedagang pikulan menjajakan makanan, kereta kuda yang melintas, dan dua perempuan yang diiringi budak lelaki yang memayungi mereka. Di sebelah kanan, tampak De Nieuwe Hollandse Kerk atau Gereja Belanda Baru. Gereja ini menggantikan Kruiskerk atau Gereja Salib yang lebih kecil pada 1733.
Pada abad ke-17, saat itu di Batavia bahwa nyonya-nyonya elite punya kebiasaan unik saat beribadah di Kruiskerk atau Gereja Salib, yang bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang. Mereka—para nyonya Belanda, maupun mestizo atau peranakan—menjadikan gereja sebagai ajang pamer status sosial.
Graaf mengisahkan perilaku para nyonya di Batavia yang memamerkan perhiasan mewah tatkala mereka pergi dan pulang dari gereja. Segala hal telah mereka siapkan lebih glamor ketimbang waktu lain, demikian menurutnya. Selain berbusana dan bertakhtakan perhiasan mewah, dia juga mencatat bahwa nyonya-nyonya Batavia datang ke gereja yang diiringi budak lelaki dan perempuan mereka. Para budak membawa payung berbodir dengan corak daun-daun. Merekia memayungi majikan selama perjalanan.
“Seorang perempuan Belanda yang paling rendah derajatnya pun memiliki budak yang mengiringinya dengan membawa payung sebagai pelindung dari panas matahari. Banyak dari mereka memiliki parasol berbodir naga emas dan ornamen dedaunan,” tulis Graff.
Baca Juga: Menelusuri Histori VOC, Sumber Kekayaan Belanda di Nusantara
Baca Juga: Kisah Perjuangan Kompeni VOC dari Musibah Karamnya Kapal Zeewijk
Baca Juga: Kapal-Kapal Kesultanan Banten yang Canggih dari Kesaksian VOC
Selain itu dia juga melukiskan dalam catatannya bahwa nyonya-nyonya itu ibarat putri raja yang manja dan selalu ingin dilayani dan dipenuhi segala kebutuhannya. “Bahkan sedotan yang jatuh di lantai, mereka memanggil para budak untuk mengambilnya,” demikian tulisnya. Malangnya, para budak kerap didera sumpah serapah atau hukuman cambuk apabila mereka bekerja lamban atau tak memenuhi pinta sang nyonya majikan.
Menurut Taylor, yang seorang Guru Besar di University of New South Wales, kebiasaan pamer ini tidak berasal dari kalangan ningrat di negeri asal mereka, Belanda. Justru kebiasaan ini adalah pengaruh budaya Asia dan budaya Portugis, demikian hemat Taylor.
Demikianlah, sepotong kehidupan sosial di sebuah kota di muara Ciliwung yang kelak melahirkan Megapolitan Jakarta dengan segala keruwetan dan prestise budayanya. Jikalau nyonya sosialita zaman VOC tampak eksis bersosialisasi di gereja, bagaimana nyonya sosialita zaman sekarang?
Payung hadir sebagai tudung yang melindungi dari sinar matahari nan terik, sekaligus menjelma sebagai simbol status yang diadopsi dari ningrat setempat. Pertautan budaya menghasilkan pengaruh dua arah atau saling memengaruhi—warga bumiputra yang mengenal kebiasaan-kebiasaan baru dari Eropa dan warga Eropa yang mengenal kebiasaan-kebiasaan baru dari warga bumiputra. Sebuah keniscayaan apabila Jakarta adalah hamparan peleburan, yang tradisi dan budayanya terbentuk dari perjumpaan-perjumpaan. Kota ini begitu kosmopolit.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR