Ia memutuskan pindah dari Kalimantan menuju ke Jawa. Menariknya, Hare berangkat tak sendirian. Ia membawa sejumlah mooie slavinnen atau budak perempuan pilihannya yang cantik-cantik—koleksinya yang berharga, barangkali.
Hare membawa semua harta berharganya ke Batavia, termasuk dengan kantung-kantung emas yang ia dapatkan dari sultan di Kalimantan dan jerih payahnya sebagai Residen di sana.
Akibat ekses-ekses seksualnya yang mengganggu, Hare akhirnya diusir oleh pemerintahan Belanda di Batavia pada bulan Maret 1819. Setelahnya, ia terus berpindah-pindah tempat dari Lombok ke Bengkulu kemudian ke Afrika Selatan.
Baca Juga: Gundik dan Ancaman Moral Akibat Percampuran Darah Jawa-Belanda
Baca Juga: Menyelisik Kehidupan Sosialita Para Nyonya Eropa di Hindia Belanda
Baca Juga: Kisah Cabul Berujung Maut Fientje de Feniks, Pelacur Batavia
Setibanya di Afrika Selatan, Hare membuka usaha pertanian di Kaapstad. Di sana, ia sering mengunjungi pasar untuk membeli gadis-gadis Afrika dari etnik Zulu, Basuto-Ovombo. Ia gemar sekali mengoleksi bermacam perempuan.
Hobinya memancing reaksi ketidaksenangan para pendeta di Gereja Gereformeerd dan mendesak penguasa setempat untuk sesegera mungkin mengusir Hare. Pada 1826, Hare resmi meninggalkan Afrika Selatan.
Hare yang punya hobi mengoleksi perempuan, punya banyak macam etnik yang telah ia kumpulkan. Ada perempuan Bugis Moskina, Sarinten Jogolan dari Sunda, Basuto dari Afrika Selatan, Nyo An dari Kanton (Cina), hingga budak perempuan Dishta dari India.
Dari sinilah istilah harem lahir, dari sebuah aktivitas kolektif para sultan dan raja di Timur Tengah dalam mengoleksi perempuan-perempuan yang dijadikannya selir atau istri piaraan. "Hare menginspirasi kebiasaannya," pungkasnya.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Source | : | Sejarah Kecil "petite histoire", Jilid 1 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR