Tokoh-tokoh yang memiliki satwa liar cenderung memanfaatkan mereka sebagai peliharaan dan tontonan publik dengan dalih mengedukasi. "Sementara kondisi di alamnya bermasalah, bahkan jadi justifikasi 'ini alam sudah tidak ramah, tidak aman buat si hewan jadi harus di rumah,' terus orang ikut-ikutan (memelihara satwa liar)," tambahnya.
Padahal prinsipnya, konservasi harus fokus terlebih dahulu pada sektor perlindungan dan diikuti oleh pengawetan. Ketika populasi sudah aman, stabil, bahkan berlebih, baru bisa lanjut ke pemanfaatan.
Baca Juga: Cula Badak Sering Dipotong untuk Konservasi, Apakah Berbahaya?
Baca Juga: Mengapa Ada Begitu Banyak Keanekaragaman Hayati di Daerah Tropis?
Baca Juga: Lebih Banyak Spesies Terancam Punah dari yang Diperkirakan Sebelumnya
Di bidang ilmiah, satwa liar dipahami juga terkait psikologisnya, atau biasa disebut dengan zoochosis. Setiap spesies, punya zoochosis berbeda untuk dirawat. Itu sebabnya, butuh keahlian yang mendalam untuk merawat mereka, apalagi jika yang dipelihara lebih dari satu spesies.
Selain keahlian, pihak yang hendak merawat satwa liar harus memiliki fasilitas yang mumpuni. Misal, jika Anda hendak merawat harimau, Anda memerlukan sangkar yang sangat besar. Ukurannya harus bisa membuat harimau meluapkan kebiasaan alam liarnya. Atau jika Anda hendak merawat burung, sangkar yang digantung tidak cukup, perlu ada sangkar lebar yang bahkan ditumbuhi beberapa pohon di dalamnya.
Dalam penelitian lain, Rheza bahkan membuat desain ramah konservasi satwa liar untuk kebun binatang. Makalahnya dipublikasikan di IOP Conference Series Earth and Environmental Science pada Desember 2018. Konsepnya adalah agar kebun binatang tidak lagi berfokus pada pengunjung (manusia), tetapi pada satwa agar bisa bergerak lebih luas.
Konsep kebun binatang yang berfokus pada satwa liar daripada manusia sebenarnya sudah dikembangkan di beberapa negara Eropa. Rheza mencoba membuat desain untuk di Indonesia yang lebih kaya kehidupan hayatinya.
Dalam perlindungan atau penyelamatan dan pengawetan, pihak swasta sudah diatur menjadi instrumen konservasi umum seperti kebun binatang. Pihak lainnya seperti taman margasatwa, kebun raya, dan museum zoologi.
Instrumen lainnya adalah konservasi khusus, bertujuan untuk penyelamatan satwa. Contohnya seperti pusat rehabilitasi satwa, pusat konservasi khusus, pusat pelatihan gajah.
Pada konservasi umum, mereka memiliki hak khusus untuk peragaan dan edukasi. Akan tetapi, kerap terjadi bahwa hewan di kebun binatang dimanfaatkan dengan tidak wajar. Misalnya harimau yang tenang agar pengunjung bisa berfoto, atau latihan kasar hewan untuk sirkus. Maka dari itu, pihak konservasi umum juga harus memedulikan etika dan kesejahteraan hewan.
Selama ini, satwa liar bisa dirawat oleh masyarakat karena alasan agar menghindari perburuan satwa liar dan pasar satwa gelap. Itu sebabnya beberapa pihak yang memelihara satwa liar berani mengakui bahwa izin kepemilikannya legal. Namun, lagi-lagi pemeliharaan satwa liar tidak bisa sembarang orang, terutama awam yang tidak memahami ilmiahnya.
Rheza dan Purba memandang bahwa peraturan konservasi di Indonesia sebagai dasar sudah cukup mantap. Masalahnya, pemahaman dan penerapan peraturannya sering diakali, sehingga butuh adanya pembaruan dari regulasi yang sudah ada. Peraturan konservasi mungkin bisa ditegaskan bagaimana sebaiknya pemanfaatan dilaksanakan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR