Nationalgeographic.co.id—Setidaknya 162 orang tewas akibat gempa berkekuatan 5,6 magnitudo yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada Senin siang, 21 November 2022. Pusat gempa berada di daratan di kedalaman 10 kilometer dan tidak berpotensi menimbulkan tsunami.
Getaran gempa tersebut terasa hingga ke Jakarta, Depok, Bekasi, dan sekitarnya. Sesar Cimandiri disebut menjadi pemicu gempa ini.
“Menurut beberapa data yang didapatkan saat ini serta melihat gempa susulan dan kerusakan yang terjadi, penyebab gempa ini adalah Sesar Cimandiri yang membujur dari Teluk Pelabuhan Ratu sampai sekitar Padalarang. Hal ini juga senada dengan perkataan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati,” ungkap Irwan Meilano, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (FITB ITB).
Ilmuwan ITB tersebut menjelaskan bahwa Sesar Cimandiri tergolong sesar aktif. Sesar merupakan bidang rekahan yang disertai dengan adanya pergeseran, mengalami retakan, atau memiliki celah.
“Pada sesar ini terdapat akumulasi tegangan tektonik yang menjadi gaya penerus gempa. Jika ditilik melalui pendekatan geologi, juga menunjukkan hal yang serupa. Sesar ini termasuk sumber gempa yang independen dan tidak dipengaruhi oleh gempa-gempa sebelumnya sehingga terdapat potensi gempa yang signifikan terjadi di masa depan,” papar Irwan seperti dikutip dari keterangan tertulis Humas ITB.
Gempa yang terjadi pukul 13.21 WIB tersebut bukan tergolong gempa besar jika ditinjau dari kekuatannya. Namun, sampai berita ini dirilis, tercatat ratusan korban jiwa meninggal dan terjadi kerusakan infrastruktur yang masif.
Hal ini disebabkan karena hiposentrumnya yang tergolong dangkal. Selain itu, terdapat lapisan yang cukup halus di permukaan Bumi dan banyak bangunan di atasnya yang tidak tahan gempa.
Ini bukan kali pertama pergerakan Sesar Cimandiri menyebabkan gempa. Irwan mencatat setidaknya pernah terjadi gempa berkekuatan serupa di tahun 1970-an.
“Ada pembelajaran yang bisa dipetik dari bencana ini. Concern utama berada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa," tegas Irwan.
"Penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta jaraknya dari sumber gempa. Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan."
Ketika bencana telah terjadi, terdapat waktu emas (golden time) untuk evakuasi yang hanya berkisar rata-rata 30 menit setelah gempa bumi. “Hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respons yang terbaik," tegasnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR