Nationalgeographic.co.id—Pemenuhan gaya hidup, bukan kebutuhan hidup, telah menciptakan pola perilaku konsumsi impulsif di tengah masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Kemudahan untuk membeli barang, baik dengan kartu kredit mapun debit, bahkan bisa juga lewat beberapa klik di ponsel pintar, telah membuat perilaku konsumtif semakin menyebar dan marak menjangkiti banyak orang.
Istilah "impulse buying" atau pembelian impulsif kemudian menjadi populer dan umum dipraktikkan, terutama dalam masyarakat urban. Istilah “impulse buying” merupakan bagian dari salah satu perilaku konsumen di mana ketika seseorang telah melakukan keputusan pembelian yang sebelumnya tidak ia rencanakan.
Hal ini terjadi ketika konsumen secara tiba-tiba terpengaruh dengan tawaran yang ada, misal oleh tampilan suatu produk atau penawaran dengan harga yang lebih murah. "Meskipun demikian, barang yang dibeli saat “impulse buying” bisa jadi memang bagian dari kebutuhan konsumen, namun sebelumnya tidak direncanakan untuk dibeli saat itu atau bahkan hanya sekadar membeli suatu produk karena 'lapar mata' dan pengaruh promo," jelas Darmianti Razak, Dosen Manajemen Keuangan Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, dalam sebuah tulisan di situs resmi IAIN Parepare.
Di masa pandemi, pembelian impulsif ini banyak terjadi terutawa lewat platform daring (online). Darmianti mengutip data dari Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) tahun 2021 yang mencatat adanya peningkatan belanja online sebanyak 37 persen selama masa pandemi COVID-19.
Seiring dengan meningkatnya angka tersebut, kemungkinan persentase terjadinya pembelian impulsif dari total jumlah transaksi itu tentu juga semakin tinggi. "Kecenderungan untuk memilih sesuatu dengan praktis dan bernilai tambah menjadi pendorong meningkatnya impulse buying di masa pandemi. Konsumen lebih mudah untuk terpengaruh dengan adanya tawaran diskon, gratis ongkir dan kualitas yang melekat pada produk," kata Darmianti.
Apakah tren pembelian impulsif ini juga akan terus berlanjut di era pascapandemi? Kemungkinan besar akan berlanjut dan bahkan meningkat seiring dengan berangsur pulihnya ekonomi Indonesia dan makin terbukanya akses untuk menikmati kesempatan berbelanja offline di pusat perbelanjaan di masa pascapandemi. Selain itu, didukung pula dengan daya beli konsumen yang berangsur lebih stabil di era pascapagebluk ini.
Tingkat konsumsi mayarakat jelas berpengaruh terhadap laju gerak perekonomian suatu negara. Namun, konsumsi yang berlebihan, termasuk karena perilaku konsumsi impulsif, bakal bepengaruh pada kondisi ekonomi konsumen yang bersangkutan dan juga berdampak pada lingkungan.
Jurnalis senior Peter Dockrill pernah membuat laporan untuk Science Alert bahwa, dibandingkan hal lainnya, para konsumen memberi dampak terbesar terhadap lingkungan. Dockrill menyitir sebuah studi yang terbit di Journal of Industrial Ecology pada Desember 2015 yang menyebut konsumen rumah tangga sejauh ini merupakan penguras terbesar di planet Bumi ini.
Studi ini membuat gambaran yang sangat berbeda dengan analisis dampak lingkungan yang murni berfokus pada negara tertentu. "Dengan kata lain, sebelum kita mulai menyalahkan semua negara atas keadaan planet ini, kita mungkin harus melihat kebiasaan dan permintaan kita sendiri," tulis Dockrill.
Sebelumnya ada tudingan bahwa Tiongkok dan sektor industrinya yang besar menghasilkan lebih banyak emisi karbon daripada negara-negara lain mana pun. Oleh karena itu, Tiongkok harus bertanggung jawab lebih besar atas pemasalahan lingkungan global.
"Jika Anda melihat jejak (lingkungan) berbasis konsumsi per kapita Tiongko, itu kecil," kata Diana Ivanova, peneliti dari Norwegian University of Science and Technology yang menjadi penulis utama dalam studi ini.
"Mereka menghasilkan banyak produk tetapi mereka mengekspornya. Berbeda jika Anda meletakkan tanggung jawab atas dampak tersebut pada konsumen, bukan pada produsen."
Source | : | Science Alert,Frontiers in Psychology,IAIN Parepare,Journal of Industrial Ecology |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR