Nationalgeographic.co.id—Thailand dan Vietnam telah mendominasi sepak bola Asia Tenggara. Hal itu bisa dilihat dalam gelaran Piala AFF, kompetisi sepak bola terbesaar Asia Tenggara.
Selama 15 tahun terakhir, Piala AFF telah rampung digelar sebanyak 7 kali, Thailand dan Vietnam mejuarai 5 kompetisi di antaranya. Dalam gelaran Piala AFF yang sedang berlangsung tahun 2022-2023 ini pun, Thailand dan Vietnam sama-sama berhasil menjadi juara grup masing-masing dan kini sedang bertarung memperebutkan tiket final.
Tim nasional sepak bola Thailand sudah menjadi dominan sejak Piala AFF digelar pertama kali pada tahun 1996 (dulu bernama Tiger Cup). Namun, timnas sepak bola Vietnam baru mulai dominan di Asia Tenggara dalam 15 tahun terakhir. Keduanya kini sulit sekali untuk ditaklukkan oleh timnas Indonesia.
Perkembangan sepak bola Vietnam ini menarik. Pasalnya, bermain sepak bola sempat menjadi bentuk aktivitas perlawanan masyarakat di sana, terutama sebelum tahun 1940.
Bagaimana dulu sepak bola bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan di negeri yang kini menganut paham komunis itu? Brice Fossard, peneliti dari Pusat Sejarah Internasional dan Kajian Politik Globalisasi di Université de Lausanne et Paris, Sorbonne, Prancis, penah membahas hal ini dalam makalah studinya yang terbit di jurnal Soccer & Society.
Fossard memulai bahasan dalam makalahnya dengan mengutip peristiwa sejarah pada tahun 1910. Kala itu salah satu surat kabar kolonial di Saigon menyambut baik tim sepak bola Annam yang pertama. Annam adalah sebuah protektorat Prancis yang meliputi wilayah tengah Vietnam. Orang-orang lokal menyebut Annam sebagai Annamite, dan ini menjadi cikal bakal nama dan wilayah negara Vietnam.
Namun, lima belas tahun kemudian pemerintah kolonial Prancis resah dengan adanya kegiatan anti-kolonial selama beberapa pertandingan sepak bola. "Melawan rintangan yang luar biasa seperti penaklukan militer dan proses 'pasifikasi', nasionalisme bertahan di Vietnam berkat karakter masyarakatnya dan komitmen mereka terhadap sepak bola," tulis Fossard.
"Antara tahun 1910 dan 1925 beberapa anggota elite Annamite bermain sepak bola hanya untuk kesenangan, tetapi selain kelompok pertama ini saya harus mengutip dua lainnya dengan motif yang berbeda untuk bermain sepak bola," papar Fossard.
"Di satu sisi, beberapa orang memilih ini sebagai cara untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka sendiri tanpa menantang dominasi Prancis, sementara di sisi lain, sebagian elite ingin bekerja untuk seluruh rakyat Vietnam dan menggunakan sepak bola untuk mempersiapkan proyek ambisius: merencanakan kemerdekaan."
Fossard berpendapat bahwa permainan sepak bola memainkan peran kunci bagi beberapa segmen penduduk lokal yang berusaha memodernisasi masyarakat dan menghapus dominasi kolonial secepat mungkin. Pendek kata, bermain sepak bola menjadi salah satu faktor terpenting yang terlihat dalam persiapan kemerdekaan di Indochina.
Baca Juga: Peran Besar Tokoh Betawi MH Thamrin bagi Sejarah Sepakbola Indonesia
Baca Juga: Bagaimana Para Imigran Membuat Sepak Bola Prancis 'Jadi Lebih Baik'
Baca Juga: Gebrakan Tim Nasional Maroko di Jantung Dekolonisasi Sepak Bola
Menurut Fossard, kegiatan bermain sepak bola ini kurang diperhatikan oleh para peneliti dan akademisi lain dalam pembahasan pergerakan kemerdekaan Vietnam. "Dalam artikel ini saya membahas kesenjangan dalam penelitian tentang nasionalisme di Vietnam: pertama, dengan menganalisis suatu bagian administratif di Cochinchina pada tahun 1925, yang menjadi saksi langkah pertama menuju kemerdekaan, dan kedua dengan mempelajari tindakan para anggota elite radikal yang menangkap peluang untuk mempromosikan proyek mereka melalui olahraga," tulisnya.
Pada bulan Januari 1925 dua tim sepak bola memainkan pertandingan persahabatan di Saigon. 'Star of Giadinh', tim Annamite paling terkenal saat itu karena kemenangannya di kejuaraan lokal pada tahun 1917 melawan 'Taberd Sport', sebuah asosiasi anak muda termasuk orang-orang Annamite, Prancis, dan beberapa anak Metis (ras campuran).
Karena pertandingan ini berlangsung di lapangan sepak bola Le Cercle Sportif Saigonnais, sebagian besar hadirin terdiri atas orang-orang kolonial Prancis, yang cenderung menentang 'Star of Giadinh'. "Fakta ini penting dan membantu menjelaskan mengapa peristiwa biasa ini memicu krisis kolonial besar di Cochinchina," tulis Fossard.
Sepuluh menit sebelum pertandingan berakhir, para pemain 'Star of Giadinh' diancam bakal didiskualifikasi oleh Breton, orang Prancis yang menjadi Presiden 'Federasi Olahraga Atletik Cochinchina'. Breton menuduh mereka melakukan kekerasan.
Para pendukung tim Annamite langsung menyerbu lapangan untuk melakukan protes. Masing-masing pihak membuat ancaman satu sama lain dan Kapten tim Annamite, Thi Paul, dihina oleh Breton dan diusir dari lapangan.
Thi Paul dan timnya meninggalkan lapangan, dikelilingi dan didorong oleh kerumunan orang-orang Annamite. Bagi pendukung tim Annamite, tidak ada yang bisa menjelaskan keputusan Prancis ini kecuali argumen rasis terhadap 'Star of Giadinh'. Menurut sejumlah orang Annam, kejadian ini menghalangi tim Annamite untuk memenangkan pertandingan dan mendapatkan gengsi yang lebih besar.
Fossard menyoroti bahwa beberapa pertandingan sepak bola di Cochinchina telah menimbulkan perasaan khusus bagi masyarakat di sana karena tim Annamite berhasil mengalahkan tim Prancis. Peristiwa ini adalah kemenangan simbolis bagi orang-orang lokal Vitenam meski di sisi lain para pemain Annamite pertama adalah para pemuda Vietnam yang berpendidikan Prancis dan menerima dominasi Prancis.
Keadaan mulai berubah pada tahun 1925, ketika sebagian besar pemuda kota setempat berani menantang Prancis. Pada saat itulah para pemain dan pendukung Vietnam memulihkan kepercayaan diri mereka berkat 'Star of Giadinh', dan tidak lagi takut dengan penjara kolonial. Apalagi para olahragawan ini menjadi panutan bagi generasi muda bangsa.
Beberapa pemuda Annamite akhirnya membuat hubungan kuat antara sepak bola dan politik. Mereka juga menyatakan bahwa sepak bola mampu mempersatukan bangsa secara lebih baik daripada monarki sebelumnya yang hanya tunduk pada kekuatan Prancis.
"Dengan demikian, sepak bola dalam satu hal merupakan kegiatan rekreasi dan cara untuk membangun kembali bangsa Vietnam," simpul Fossard.
Pada tahun 1939 di Annamite, menurutnya, tampaknya permainan sepak bola merupakan jalan keluar untuk menunjukkan penolakan terhadap pemerintahan kolonial. Kegiatan politik dan olahraga semakin terjalin pada tahun 1930-an dengan aktor-aktor baru, seperti pemuda setempat atau Partai Komunis yang menggunakan kegiatan ini sebagai cara untuk memperkenalkan beberapa propaganda antikolonial.
Source | : | Soccer & Society |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR