Nationalgeographic.co.id—Studi psikologis inovatif baru dari The University of Essex dan University of Reading menyelidiki bagaimana suara guru berpengaruh dalam pendidikan. Mereka mengeksplorasi nada suara guru dalam pendidikan anak.
Mereka menemukan bahwa guru yang terdengar keras ternyata lebih buruk di kelas daripada rekan kerja mereka yang dapat mengendalikan suaranya.
Temuan tersebut telah mereka terbitkan di British Journal of Educational Psychology baru-baru ini. Publikasi tersebut merupakan jurnal akses terbuka yang bisa diperoleh secara daring dengan judul "Teachers' motivational prosody: A pre-registered experimental test of children's reactions to tone of voice used by teachers."
"Kami berhipotesis dan menemukan bahwa ketika anak-anak mendengar suara-suara yang terdengar mengendalikan, mereka mengantisipasi kepuasan kebutuhan psikologis dasar, kesejahteraan, dan niat yang lebih rendah untuk diungkapkan kepada guru, dibandingkan dengan suara-suara yang terdengar netral," tulis peneliti.
"Kami juga mengantisipasi efek menguntungkan untuk suara yang mendukung otonomi versus suara netral, tetapi analisis yang telah didaftarkan sebelumnya tidak mendukung harapan ini."
Hasil pengujian mereka terhadap ratusan anak menunjukkan bahwa "mengendalikan suara yang terdengar" tidak mendapatkan kerja sama dari anak usia 10-16 tahun.
Menurut penelitian tersebut, anak-anak muda yang dihadapkan dengan guru yang ketat dengan suara yang keras lebih cenderung memberontak.
Hal itu karena mereka akan merasa kebahagiaan mereka terpengaruh, dan mereka cenderung mengungkapkan bahwa mereka menghadapi masalah, seperti intimidasi.
Saat dihadapkan dengan guru yang tidak dapat mengendalikan suara mereka, siswa merasa tidak mampu mengekspresikan diri dan lebih mengontrol kemampuannya.
Sedangkan suara yang terdengar mendukung mengilhami koneksi ke seorang guru yang meningkatkan niat mereka untuk bekerja sama.
Source | : | University of Essex,British Journal of Educational Psychology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR