Iliad gubahan Homer mengisahkan tentang tahun kesepuluh dan terakhir dari Perang Troya. Sepanjang kisah ini, Helene menyesali perannya dalam menyebabkan perang dan rindu untuk kembali ke suami dan putrinya, Hermione.
Penduduk Troya mencemoohnya, para tetuanya berkata demikian,
“Kita tidak bisa menyalahkan Troya atau Akhaia yang berduka,
untuk menahan rasa sakit selama ini demi wanita seperti itu,
karena dia terlihat sangat cantik seperti dewi abadi.
Tapi meski begitu, biarkan dia menaiki salah satu kapal mereka,
jadi dia tidak ditinggalkan di sini, hukuman bagi kami dan anak-anak kami.”
Dalam Vergil's Aeneid, Aeneas menyebut Helene sebagai, “mimpi buruk Troya dan tanah airnya”. “Aenas bahkan mempertimbangkan untuk membunuh Helene yang dicap sebagai penyebab bencana berkepanjangan,” kata Kamil.
Namun, raja Troya Priam memperlakukan Helene dengan baik. Saat mereka melihat ke tembok kota bersama-sama, Priam menunjuk ke Agamemnon, Odysseus, Ajax, dan prajurit lainnya. Helene mengenali mereka. Meskipun dia ingin pulang, Helene tetap memberikan informasi yang berguna dan jujur tentang mantan sekutunya ke Troya.
Karena perang berakar pada konflik antara Paris dan Menelaus, kedua pejuang itu setuju untuk bertarung satu lawan satu. Paris, prajurit yang lebih rendah, tercekik oleh tali helmnya dan hampir terbunuh. Dewi Aphrodite secara ajaib memindahkannya ke tempat yang aman di istananya.
Rupanya sang dewi masih menyukai Paris karena memilihnya dalam kontes dengan apel. Tapi saat Paris kembali ke istana, Helene tidak senang dengan kepengecutannya. Dia memberi tahu Aphrodite untuk menikahi Paris sendiri dan merasa malu menjadi istri seorang pengecut.
Rasa malu Helene atas kepengecutan Paris menyoroti keyakinan penting pada di masa itu. Nilai seorang pria terletak pada arete-nya, yang berarti keberanian.
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR