Nationalgeographic.co.id—Kaisar Guangwu atau Liu Xiu adalah pendiri Dinasti Han Timur (25 — 220). Dia juga merupakan seorang jenderal tak terkalahkan yang tidak pernah gagal di medan perang, sarjana terpelajar, raja yang baik hati.
Salah satu kaisar paling luar biasa dalam sejarah Tiongkok ini mengakhiri perang dan kekacauan yang akhirnya membawa kehidupan stabil bagi orang-orang.
Kaisar Guangwu adalah keturunan Kaisar Liu Bang (256 SM — 195 SM), pendiri Dinasti Han. Tapi setelah beberapa generasi memotong kekuasaan dari cabang non-kaisar, ayah Kaisar Guangwu hanyalah seorang gubernur kota kecil dan meninggal pada usia muda seperti dikutip China Fetching.
Oleh karena itu, Kaisar Guangwu dan saudara-saudaranya dibesarkan oleh paman mereka, dan dia kemudian bekerja sebagai petani untuk mencari nafkah.
Kemudian, dia pergi ke ibu kota dan belajar di sekolah yang didirikan oleh Kaisar Wang Mang; setelah lulus, dia kembali ke kampung halamannya.
Saat itu, impian Liu Xiu adalah menjadi seorang pejabat di kotanya dan menikahi seorang gadis cantik bernama Yin Lihua, seorang gadis cantik yang ia temui dan jatuh cinta ketika ia masih remaja.
Dipaksa untuk Bergabung dengan Tentara Pemberontak
Namun, seorang teman dekat kakak laki-lakinya melakukan beberapa kejahatan, yang juga melibatkan Kaisar Guangwu yang tidak bersalah dan membuatnya tinggal di penjara untuk sementara waktu.
Setelah itu, kakak laki-lakinya dan beberapa temannya memberontak melawan Kaisar Wang Mang, yang merebut tahta dan mengakhiri Kekaisaran Han Kaisar Guangwu, yang banyak kerabat dekatnya memberontak, harus bergabung dengan pasukan mereka.
Dalam pertempuran pertama Kaisar Guangwu, dia tidak mampu membeli kuda perang. Jadi dia menunggang sapi untuk bertarung dan kemudian dikenal sebagai kaisar di punggung sapi.
Dia bertempur dengan gagah berani dan segera bergabung dengan pasukan pemberontak yang sangat besar bersama kakak laki-lakinya.
Wang Mang mengirim sekitar 400.000 tentara terlatih untuk menyerang situs militer tempat Liu Xiu ditempatkan, sebuah kota penting dengan beberapa ribu tentara bertahan.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR