Nationalgeographic.co.id—Pemerintah Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah menerima semua pengungsi tanpa melihat latar belakang agama mereka. Bahkan mereka memberikan pengungsi nonmuslim kesempatan untuk menjadi rakyat mereka.
Ini semua karena tradisi Oghuz. Tradisi ini merupakan salah satu fondasi budaya Ottoman.
Tradisi kuno ini memerintahkan untuk menjamu tamu dan tidak menyerahkannya kepada musuh mereka siapa pun mereka. Ada banyak tuan tanah di Ottoman yang bahkan akan mengangkat senjata untuk menjaga rumah mereka sepanjang malam untuk melindungi tamu mereka.
Kekaisaran Ottoman bahkan mengambil risiko perang untuk tujuan ini. Prinsip serupa juga ada dalam budaya dan ajaran Islam.
Sebagai contoh, pada awal abad ke-15, Sultan Kara Koyunlu Qara Yousuf dan Sultan Irak dan Azerbaijan selatan Ahmad Jalayir melarikan diri dari Timur Lang dan berlindung kepada Sultan Bayezid I sang Kaisar Ottoman. Timur Lang menulis surat kepada Sultan Bayezid untuk meminta mereka kembali.
Bayezid menolak permintaan tersebut, yang berarti dia mengambil risiko berperang melawan tentara terbesar di dunia. Hidup untuk kehormatannya, Bayezid dikalahkan dan harus kehilangan takhtanya serta kehilangan sebagian dari wilayah kekuasannya.
Dalam makalah bertajuk "Refugee Reception in the Ottoman Empire and the Turkish Response to Syrian Refugees" yang dipublikasikan di laman UNHCR, Şevin Gülfer Sağnıç dari University of California San Diego membahas bagaimana dulu Kekaisaran Ottoman menerima gelombang pengungsi besar-besaran pada abad ke-19 dan ke-20.
Sebagai respons terhadap pergerakan pengungsi ini, kekaisaran membentuk 'Komisi Migran', yang dalam bahasa Turki modern disebut Muhacirin Komisyonu. Komisi ini dibentuk pada tahun 1860, di tengah krisis ledakan laju pengungsi tersebut.
Ini mungkin merupakan salah satu komisi pengungsi pertama di dunia untuk mengatur migrasi dan menyusun kebijakan pemukiman. Komisi migran ini juga memberi para pengungsi hak-hak agama, ekonomi, dan sosial di samping paket dukungan ekonomi yang luas yang bertujuan untuk mengubah para pengungsi menjadi pelaku ekonomi mandiri.
Secara umum, kekaisaran tidak melihat pengungsi sebagai masalah, melainkan solusi untuk masalah politik domestik dan internasionalnya. Ini tidak seperti pandangan negara-negara Eropa saat ini yang melihat pengungsi atau imigran sebagai masalah dan ancaman untuk negara mereka.
Baca Juga: Utang Kesultanan Ottoman, Menyisakan Kemiskinan Timur Tengah Hari Ini
Baca Juga: Kekaisaran Ottoman, Tempat Berlindung Pengungsi Muslim dan Nonmuslim
Baca Juga: Bagaimana Kopi Berperan dalam Kehancuran Kekaisaran Ottoman?
Kekaisaran Ottoman mengalami pergerakan pengungsi besar-besaran di abad ke-19. Ini sekitar satu abad lebih dulu sebelum negara-negara Eropa lainnya mengalami hal semacam itu sekarang.
Pada paruh kedua abad ke-19, populasi Kesultanan Utsmaniyah menurun karena alasan-alasan perang, pemberontakan, penyakit, kelaparan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Efek dari penurunan populasi itu sungguh menghancurkan.
Petak-petak besar tanah menjadi tidak ditanami dan pendapatan pajak menurun secara signifikan. Hal ini menghambat investasi dalam produksi pertanian.
Pemukiman penduduk baru ke lahan subur yang tidak ditanami menawarkan solusi cepat untuk masalah ini. Dengan demikian, para pengungsi memberi kekaisaran tenaga kerja segar yang diperlukan untuk pertanian.
Pengungsi yang menetap juga diharapkan melindungi jalur kereta api, jalur telegraf, dan membayar pajak beberapa tahun setelah menetap.
Pendek kata, sebagaimana dikutip dari Reviews in History, membantu para pengungsi memungkinkan kekaisaran untuk memperluas basis pajaknya dengan memajukan perbatasan pertanian, terutama di provinsi-provinsi Arab.
Di sini para pengungsi juga memberikan keamanan terhadap serangan nomaden. Mereka direkrut ke dalam pasukan koersif negara.
Source | : | Daily Sabah,unhcr.org |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR