Nationalgeographic.co.id—Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari peran wanita di sepanjang sejarahnya, termasuk juga di era Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah. Pernah jadi salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di dunia, kekaisaran ini pernah mengalami periode Kesultanan Wanita.
Kesultanan Wanita adalah periode di mana wanita memerintah di Kekaisaran Ottoman. Urusan kekaisaran didominasi oleh Sultana yang memegang kekuasaan, dan ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Seperti dalam budaya lain, selama periode modern awal Kesulatan Wanita di Ottoman ini, kehidupan dan peran perempuan biasa sangat bergantung pada status sosial mereka di Kesultanan Utsmaniyah.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa wanita menjalani kehidupan terasing karena pemisahan berdasarkan jenis kelamin dipraktikkan secara luas di Kekaisaran Ottoman. Ini berarti bahwa wanita hampir secara eksklusif menikmati kebersamaan dengan wanita lain, sedangkan pria bergaul dengan pria lainnya.
Namun, selama pemerintahan Suleiman, perempuan dapat menikmati status yang lebih egaliter. Contohnya adalah toko kaymak, di mana pria dan wanita dapat bertemu secara teratur tanpa memandang status perkawinan mereka. Selain itu, keberadaan syekh perempuan juga membuktikan hal tersebut.
Selain kaymak, tempat sosialisasi bagi perempuan adalah di rumah mereka dan pemandian tempat mereka bisa bertemu dengan sesama perempuan. Dari perspektif ini, cukup jelas mengapa kehidupan perempuan biasa di Kesultanan Utsmaniyah digambarkan sebagai terasingkan.
Pada awlanya, peran perempuan di Kekaisaran Ottoman hanya terikat pada rumah tangga, serta merawat keluarga dan kerabat lain yang mereka kenal. Hal ini memberikan karakter tradisional pada peran mereka.
Namun kemudian peran wanita ini berubah dengan munculnya era Kesultanan Wanita di abad ke-16. Kesultanan Wanita adalah periode yang dimulai oleh pemerintahan Suleiman pada tahun 1520 dan berlangsung hingga Sultanah Turhan meninggal pada tahun 1683.
Periode ini menandai sejarah Kesultanan Utsmaniyah dengan meningkatnya peran wanita baik dalam urusan internal maupun eksternal.
Peran wanita meluas ke politik. Lalu harem, tempat yang disediakan untuk istri, selir, dan pelayan wanita, menjadi tempat yang memengaruhi keputusan kekaisaran.
Secara umum di Kesultanan Utsmaniyah, Sultan adalah penguasa tertinggi yang memerintah dengan bantuan sebuah dewan bernama Divan. Bagi perempuan, untuk memengaruhi politik, mereka harus menjadi permaisuri Sultan, istrinya, atau menjadi ibu dari Sultan yang berkuasa.
"Kesultanan Wanita, demikian sebutannya, adalah periode sejarah yang menandai paruh kedua abad ke-16 dan ke-17 Kesultanan Utsmaniyah," tulis Anisia Iacob, lulusan master sejarah dari Leiden University, di The Collector.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR