Nationalgeographic.co.id—Keragaman yang luar biasa bukanlah hal yang aneh dalam sejarah Tiongkok Kuno. Di negara yang begitu luas, banyak etnis hidup berdampingan, dan berperan penting dalam membentuk sejarahnya.
Namun, keragaman tidak selalu berarti perdamaian di Tiongkok. Faktanya telah terjadi banyak permusuhan, dan kebencian semacam itu itu sering berubah menjadi kekerasan.
Pada sekitar pertengahan 300 Masehi, selama era Enam Belas Kerajaan (Sixteen Kingdoms), Kaisar Tiongkok dari negara bagian Ran Wei, bernama Ran Min, melakukan genosida yang mengerikan terhadap suku tetangga seperti Kaukasia - menyebabkan hilangnya nyawa yang mengerikan.
Pembantaian yang Menggemparkan Dunia
Dalam sejarah Tiongkok, sering terjadi persaingan dan perseteruan antara kerajaan tetangga. Periode Enam Belas Kerajaan mungkin yang paling kacau dari semuanya, berlangsung dari tahun 304 hingga 439 Masehi.
Tiongkok terpecah-pecah menjadi serangkaian negara dinasti kecil, dan perang terjadi di seluruh negeri. Perbedaan etnis yang tinggal di Tiongkok pada saat itu hanya memperburuk perang, karena kebencian telah menguasai akal sehat semua orang.
Yang paling menonjol adalah permusuhan jangka panjang antara suku Han tradisional, dan suku Wu Hu. Wu Hu adalah apa yang disebut "Lima Orang Barbar", orang non-Han yang tinggal di Tiongkok Utara.
Wu Hu kemungkinan memiliki asal yang beragam. Kelima suku ini disebut oleh orang Tionghoa sebagai: Di, Qiang, Jie, Xiongnu, dan Xianbei.
Identitas mereka tidak pasti. Diperkirakan Xiongnu dan Xianbei adalah suku nomaden dari stepa di utara. Di dan Qiang adalah gembala yang berbicara bahasa Sino-Tibet atau Turki, sedangkan Jie mungkin berasal dari Yenisei, dari Siberia. Bagaimanapun juga, mereka sangat kontras dengan suku Han Tiongkok.
Banyak dari "orang barbar" ini bermigrasi ke Tiongkok selama era Han Timur, dan kemudian menggulingkan dinasti Jin Barat, menciptakan kerajaan mereka sendiri.
Selama abad ke-4 M, suku-suku Wu Hu ini - terutama orang-orang Jie - menentang kekuasaan jenderal kuat Ran Min, yang dengan cepat bangkit sebagai tokoh terkuat dalam konflik Enam Belas Kerajaan.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR