Nationalgeographic.co.id—Mesin cetak modern memang telah ditemukan sejak tahun 1450 di Eropa oleh Johannes Gutenberg. Namun, Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah baru menggunakannya pada tahun 1727.
Itu setelah Syaikh al-Islam saat itu (pejabat agama tertinggi di Kekaisaran Ottoman) memberikan fatwa, mengatakan bahwa percetakan tidak bertentangan dengan agama. Sebaliknya, itu adalah penemuan yang berguna, seperti dilansir Daily Sabah.
Namun, ada klaim palsu yang dibuat selama periode Republik yang mengatakan, "Sementara Eropa telah menemukan mesin cetak dan mulai mencetak buku, otoritas agama di negara kami mencegah kami untuk menggunakannya, mengatakan itu bertentangan dengan agama, dan menyebabkan memperlambat kemajuan kita."
Mengapa begitu lama kesultanan baru menerima mesin cetak?
Menjawab pertanyaan itu sebenarnya mudah, tapi cukup kompleks. Jika membicarakan mesin cetak, sebenarnya Eropa tidak benar-benar menemukan mesin cetak. Lebih tepatnya Gutenberg hanya mengembangkan, bukan menemukan.
Sebenarnya umat Buddha dan Muslim telah menggunakan keajaiban mesin cetak selama berabad-abad.
Pada abad keenam SM, pencetakan balok kayu digunakan di Tiongkok dan Korea. Biksu Buddha mendominasi mesin cetak selama periode ini.
Sedangkan Uighur (kelompok etnis Turki dari Asia Tengah Timur) mengembangkan mesin cetak pertama dengan huruf yang dapat disesuaikan, menekan warna ganda hitam dan merah pada kulit, kertas Tiongkok dan sutra.
Pada awal abad ke-14, jenis mesin cetak juga digunakan oleh Mamelukes di Mesir. Hingga kemudian, mesin cetak diperkenalkan ke Eropa sebagai akibat dari invasi Muslim dari selatan dan invasi Turki dari utara.
Barulah setelah itu Gutenberg berinovasi mengembangkan sistem pengecoran dan menggunakan paduan logam yang membuat produksi lebih mudah. Inilah yang kemudian disebut mesin cetak pertama di dunia yang sebenarnya adalah versi modern dari mesin cetak sebelumnya.
Lantas mengapa mereka tidak menggunakannya?
Source | : | Daily Sabah |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR