Nationalgeographic.co.id—16 Januari 1962, seorang wanita paruh baya melangkah keluar dari pesawat di Korea Selatan. Ia dikelilingi oleh wartawan, perawatnya membantunya menuruni tangga. Tatapan matanya tampak kosong. Wanita itu sama sekali tidak berbicara kepada wartawan yang menghujaninya dengan foto dan pertanyaan. Ia adalah Deokhye, putri terakhir dari Kekaisaran Korea atau Dinasti Joseon. Terlahir sebagai keluarga kerajaan, ia justru menjalani kehidupan yang memilukan.
Judul berita hari itu berbunyi: “Putri Deokhye Kembali ke Rumah, Segera Dirawat di Rumah Sakit Universitas”. Putri Deokye, pada usia 50 tahun, akhirnya kembali ke rumah setelah 38 tahun tinggal di Jepang.
Tahun-tahun awal kehidupan Putri Deokhye
Putri Kaisar Gojong, kaisar kedua terakhir Dinasti Joseon, lahir pada tahun 1912. Putri Deokhye adalah putri kesayangan banyak anggota keluarga kekaisaran, termasuk ayahnya.
Meskipun Dinasti Joseon atau Kekaisaran Korea sudah dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1910, dia menjalani tahun-tahun yang nyaman di Seoul. Saat itu Jepang menjanjikan keamanan dan status untuk keluarga Kekaisaran Korean. Sang putri sempat menjalani kehidupan prasekolah dan sekolah dasar di Seoul. “Ia dikenang sebagai siswa yang cerdas dan ramah,” tulis Daniel Choi di laman Medium.
Hidupnya menjadi berantakan pada tahun 1925 ketika ayahnya meninggal. Kematian kaisar berarti kesedihan nasional bagi rakyat Korea. Namun secara khusus, peristiwa itu memengaruhi kesehatan mental sang putri.
Jepang hanya menjaga keutuhan keluarga kekaisaran karena takut akan pemberontakan dari Korea jika mereka membunuhnya. Setelah kematian Kaisar Gojong, kepala keluarga kekaisaran, tidak ada lagi anggota keluarga yang perlu dilindungi oleh Jepang.
Segera setelah kematian ayahnya, Deokhye pindah ke Jepang sebagai bagian dari rencana kolonialis untuk menghilangkan semua pengaruh Kekaisaran Korea. Jepang memaksa banyak anggota keluarga Kekaisaran Korea untuk pindah ke Jepang. Tidak hanya itu, mereka dipaksa untuk menjadi orang Jepang. Tujuannya adalah untuk mendorong orang Korea lainnya berasimilasi.
Pada usia 13 tahun, Deokhye dipindahkan ke Jepang, jauh dari ibunya. Di sana, ia mendaftar di sekolah menengah khusus wanita. Deokhye remaja selalu takut dibunuh dan kerap membawa botol airnya sendiri untuk menghindari keracunan. “Teman sekelasnya mengingatnya sebagai seseorang yang sangat pendiam dan murung,” tambah Choi. Hidupnya di Jepang penuh dengan ketakutan dan ketidaktahuan.
Kehidupan Putri Deokhye semakin parah ketika berita kematian ibunya tiba pada tahun 1929.
Alami depresi setelah kematian sang ibu
Setelah mendengar kematian ibunya, Deokhye dilanda depresi. Ia tidak meninggalkan kamarnya selama berhari-hari, menolak makan atau berbicara dengan siapa pun. Menurut pamannya, dia menderita insomnia dan kerap berjalan dalam tidur. Sang putri mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan mental dan dibawa ke psikiater. Di sana, dia didiagnosis menderita demensia prekoks atau skizofrenia.
Source | : | Medium.com |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR