Nationalgeographic.co.id—Untuk menopang kota, pasir sangat diperlukan untuk pembangunan infrastruktur. Itu sebabnya, pertambangan pasir dan penjualannya dilakukan karena adanya kebutuhan dan ketersediaan sumber daya alam.
Pasir, termasuk kerikil dan batuan yang telah hancur adalah sumber daya alam kedua yang paling banyak dieksploitasi di dunia setelah air, menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP).
Sumber daya alam pasir yang ditambang berasal dari sedimen perairan seperti sungai dan laut. Pasir dari tempat ini kokoh untuk pembangunan infrastruktur seperti semen dan reklamasi.
Sifat pasirnya berbeda dengan gurun pasir yang melimpah di Sahara, Jazirah Arab, atau Gobi. Menurut sebuah makalah di Science of The Total Environment (2022), pasir dari gurun dihasilkan dari proses erosi angin yang berlangsung ribuan tahun, dan bentuknya lebih bulat daripada pasir lainnya. Hal ini menyebabkannya kurang cocok untuk keperluan konstruksi.
Tentunya, aktivitas pertambangan pasir di sungai dan pesisir, menyebabkan kerugian lingkungan. Penambangan pasir di sungai, menyebabkan perubahan penggunaan lahan, cadangan air tanah, perubahan bentuk jalur sungai karena pengangkatan sedimen dalam pertambangan, hingga polusi udara yang dihasilkan peralatan tambang.
Tidak hanya itu, dampak lainnya adalah perubahan kualitas air lokal di sekitarnya hingga di hilirnya.
Perubahan kualitas itu disebabkan zat kimia yang dihasilkan aktivitas penambangan. Selain itu, nutrisi penting dari air bisa hilang oleh beberapa partikel yang mengendap, sehingga berdampak pada vegetasi sekitar sungai dan di hilir.
Penambangan pasir laut atau pantai berdampak pada erosi, penyusutan delta, salinisasi (pengasinan) akuifer pantai, dan kesehatan serta sosio-ekonomi masyarakat sekitar.
Indonesia pernah melakukan penambangan pasir laut besar-besaran untuk diekspor ke Singapura. Penambangan besar-besaran menyebabkan Pulau Nipa, Batam, yang jaraknya tidak jauh dari Singapura, tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau ini adalah penanda perbatasan antara kedua negara.
Singapura membutuhkan pasir dari negara-negara sekitarnya untuk reklamasi. Tujuannya, tentu untuk pembangunan infrastruktur dan industri, penyediaan tanah, dan tempat tinggal penduduk di negara pulau kecil itu. Sejak kemerdekaannya di tahun 1965 Singapura telah memperluas daratannya lebih dari 20 persen pada tahun 2017.
Singapura bergantung ke beberapa negara tetangganya seperti Malaysia, Kamboja dan Indonesia. Pada tahun 2007, 90 persen impor pasir Singapura berasal dari Indonesia. Di tahun itu juga, Indonesia menyadari dampak buruk lingkungan akibat permintaan yang massif dari Singapura, sehingga menutup ekspor pasir. Malaysia sudah menghentikannya sejak 1997.
Setelah Indonesia berhenti, Kamboja menjadi salah satu yang utama bagi impor pasir Singapura. Kamboja kemudian menghentikan ekspor pasirnya, mengikuti Indonesia. Akibat penambangan pasir yang masif, lingkungan sekitar Sungai Mekong menjadi rusak.
Source | : | esdm.go.id,kompas.id,Nature Sustainability,Unep.org,Pulitzer Center |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR