Nationalgeographic.co.id—Marten Douwes Teenstra adalah seorang anak petani yang pernah bekerja di negara-negara koloni Belanda, seperti Hindia Belanda, Afrika Selatan dan Suriname. Kontribusinya: mengecam jejak sejarah perbudakan dengan penanya.
Teenstra lahir di Groningen, Belanda pada 17 September 1875. Ia merupakan putra dari Douwe Martens Teenstra dan Jantje Luies Dijkhuis. Pada tahun 1819, ayahnya membelikannya tanah pertanian seluas 100 ha seharga 100.000 gulden.
Memasuki tahun 1823, ayah Teenstra, Douwe dikabarkan meninggal dunia. Hal itu membuat Marten Douwes Teenstra harus mengelola secara mandiri lahan pertaniannya itu. Sayang, itu tak bertahan lama.
Runtuhnya pasar dan krisis pertanian menyebabkan kerugian finansial yang meluas dan berdampak bagi keluarga Douwe. Hal inilah yang menyebabkan keputusannya pada tahun 1824 untuk sementara waktu meninggalkan lahan pertaniannya di Groningen.
Setelahnya, Marten Douwes Teenstra memutuskan untuk meninggalkan istri dan anak-anaknya, mencoba peruntungan baru dan berangkat ke Jawa dengan kapal fregat cepat bernama "Abel Tasman".
Marten Douwes Teenstra mengisahkan tentang perjalanannya, hijrah dari Groningen ke Jawa. Ia menuliskannya dalam buku berjudul De vruchten mijner werkzaamheden yang diterbitkan pada 1943.
Kehidupan di atas kapal terasa nyaman dengan pelayanan yang sangat baik, seringkali terdiri dari tujuh atau delapan hidangan, anggur, musik dan nyanyian setelah makan malam, dan permainan kartu, catur, atau catur yang aneh.
Namun, ketika melintasi garis lintang khatulistiwa, panasnya menyengat, terutama di malam hari. Seketika menjadi buruk ketika bau keju, ham, dan tubuh yang tidak dicuci dari palka bercampur, memaksa penumpang untuk tidur di geladak.
Setelah pelayaran yang berlangsung selama enam puluh satu hari melalui Madeira, Kepulauan Canary, dan Trinidad, kapal mereka berlabuh di Table Bay pada tanggal 11 Maret 1825. Di saat itu, Teenstra merasa sangat tidak enak badan.
Tubuhnya menjadi tidak fit, diduga karena suatu kondisi yang dia alami akibat terjangan badai yang terus menerus menerjang, telah membuatnya basah kuyup saat dia sedang menikmati perjalanan di atas kapal.
Selepasnya di Batavia, ia membuka pertanian yang nampaknya tidak menghasilkan apa pun. Pada akhirnya, dua tahun kemudian, ia kembali menjual lahan pertaniannya di Jawa. Ia melanjutkan upayanya di Suriname.
Bak mendapat pencerahan, pada tahun 1828 muncul sebuah peluang baru. Teenstra mulai bekerja di koloni Belanda lainnya, Suriname, selama enam tahun sebagai ahli agronomi dan inspektur.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR