Nationalgeographic.co.id – Wajah Ismail (37) tampak semringah. Tangannya yang gesit menata kopi yang dibungkus dalam kemasan mungil bercorak putih dan cokelat. Dengan ramah, ia melayani pertanyaan pengunjung mengenai kopi yang dipamerkan dan dijualnya di bangunan bertuliskan Kios Cinderamata Dinas Pariwisata Sigi, Desa Wayu.
Pada Kamis (22/6/2023), peserta Festival Lestari 5 mengunjungi Desa Wayu untuk berparalayang. Sesudahnya, mereka memadati kios tersebut untuk membawa pulang oleh-oleh dari desa yang berlokasi di salah satu puncak Bukit Gawalise itu.
Kopi yang ditata Ismail di etalase miliknya adalah kopi dombu. Sebagai informasi, kopi dombu adalah kopi berjenis arabika khas Kabupaten Sigi. Nama kopi dombu berasal dari daerah tempatnya ditanam, yakni Desa Dombu.
Desa itu berada di area Perbukitan Gawalise juga dan lebih tinggi letaknya daripada Desa Wayu, sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kopi arabika tumbuh subur di Desa Dombu.
Ada cerita unik dan menginspirasi di balik keberadaan kopi Dombu. Ismail, yang merupakan warga Desa Dombu, menceritakan bagaimana kopi tersebut menjadi penyambung asa petani-petani di desanya.
“Awalnya masyarakat Desa Dombu tidak mengenal kopi. Kami menanam palawija yang pengairannya bergantung pada hujan. Hasilnya juga tidak seberapa. Contohnya, kebun palawija yang saya garap. Hasilnya hanya cukup untuk menopang kehidupan sehari-hari istri dan dua anak,” cerita Ismail.
Kemudian, pada 2019, kopi mulai dikenal dan ditanam. Ismail pun mencoba untuk menanamnya. Tujuannya, untuk memperbaiki hidup dan memperoleh keuntungan lebih dari hasil cocok tanam.
“Pertimbangannya adalah kopi cocok ditanam di Desa Dombu. Cuacanya cocok untuk spesies Coffea liberica untuk bertumbuh,” terang Ismail.
Ismail kemudian menanam kopi di tanah seluas 1 hektare yang ia miliki. Kebun kopi ia kelola bersama sang istri. Hasilnya tidak mengecewakan, bahkan jauh lebih nikmat dari keuntungan bercocok tanam palawija.
“Sebulan kami bisa dua kali panen. Setiap panen kami dapat 50 kilogram biji kopi. Pasar kopi di dalam dan di luar Kota Palu sedang bagus. Harga saat ini selalu stabil pada kisaran Rp 70.000per kg kalau dijual di dalam Kota Palu,” kata Ismail.
Apabila menjualnya di luar Provinsi Sulawesi Tengah, Ismail bisa mematok harga Rp 100.000 per kg. Dengan penghasilan dari bertani kopi, Ismail sudah bisa membiayai uang sekolah anaknya yang masing-masing duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP).
“Kebutuhan sandang, pangan, dan tabungan hari tua juga bisa terpenuhi dari bertani dan berjualan kopi. Pasar kopi sekarang semakin baik, maka kami mau memanfaatkan peluang ini sebagai tabungan masa depan,” ucap Ismail bangga.
Penulis | : | Sheila Respati |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR