Nationalgeographic.co.id – Sejarah rabies adalah sejarah penyakit yang cukup panjang. Penyakit ini telah tercatat setidaknya sejak era Mesopotamia kuno dan masih ada hingga saat ini.
Bahkan, kini rabies menjadi salah satu penyakit yang sedang ramai jadi perbincangan publik di Indonesia. Video pilu yang memperlihatkan seorang anak kecil takut air karena terinfeksi rabies sempat viral di media sosial.
Narasi video itu menyebutkan bahwa anak tersebut tertular rabies setelah tangannya digigit oleh anjing liar. Nyatanya, penyakit rabies di Indonesia terutama memang tersebar di Bali dan Nusa Tenggara Timur, darah yang terdapat banyak anjing berkeliaran di jalan-jalan.
Sebenarnya seperti apa sejarah rabies? Dari mana dan kapan masuk ke Indonesia? Lalu bagaimana penyakit rabies bermula dan bagaimana kemudian vaksin penyakit ini diciptakan?
Sejatinya, rabies merupakan penyakit kuno yang telah lama tercatat dalam sejarah perabadan manusia. Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada Kode Mesopotamia yang ditulis sekitar 4.000 tahun lalu serta pada Kode Babilonia Eshunna yang ditulis sekitar tahun 2300 Sebelum Masehi.
Dikutip dari laman VaccinesWork, rabies yang telah dipahami oleh beragam budaya sebagai perampasan sisi kemanusiaan manusia--korban gigitan hewan penular rabies. Kondisi manusia yang terjangkit rabies ini akan menyimpang ke keadaan binatang.
Sejarah rabies relatif kental di dalam teks-teks kuno yang masih hidup. Beberapa referensi paling awal berusia lebih dari 4.000 tahun.
Tablet tanah liat mantra Akkadia dari negara kota kuno Ur, pernah ditemukan di zaman modern di Nuffar, Irak, dan berasal dari sekitar tahun 2100-2000 Sebelum Masehi.
Teks itu menyebutkan perbincangan menarik antara Marduk, Dewa Penyembuhan dan ayahnya Enki. Ada nada keputusasaan dalam menghadapi penyakit yang masih belum dapat disembuhkan ini.
“Oh! ayahku! Mengenai seorang pria yang […] diserang oleh anjing gila, dan yang menyebarkan racunnya […], saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk pria itu,” seru Marduk.
Sangat mengejutkan bahwa “mantra gigitan anjing” Akkadia itu–yang dinyanyikan selama ritual kuasi-medis yang biasanya dilakukan hanya untuk penyakit yang paling serius–secara teratur menyebut air liur anjing (yang kita kenal sekarang sebagai sarana penularan virus rabies) sebagai “bisa racun” yang sebanding dengan ular atau kalajengking.
Satu mantra lagi dari sekitar tahun 1900-1600 SM mengisyaratkan proses penyakit rabies sebagai semacam hibridisasi atau perkawinan silang antarspesies. Mantra itu berbunyi: "air mani anjing rabies terbawa di mulutnya”. "Di mana anjing menggigit, ia telah meninggalkan anaknya."
Source | : | VaccinesWork,Dinas Kesehatan Provinsi Bali |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR