Bagi seorang wanita, situasinya bahkan lebih buruk. Jika suaminya meninggal, pemilik tanah dapat memaksa mereka menikah dengan pria lain dalam waktu yang relatif singkat. Jika mereka menolak, mereka bisa menerima hukuman.
Tidak Berhubungan Seks pada Hari-hari Tertentu dalam Seminggu
Dalam sejarah Abad Pertengahan, ada sejumlah hukum agama yang mencoba membatasi kapan seseorang boleh berhubungan seks. Dalam seminggu rata-rata tujuh hari, pasangan suami istri hanya bisa berhubungan seks pada empat hari.
Hari-hari di mana seks dilarang termasuk Kamis dan Jumat karena orang-orang seharusnya mempersiapkan Perjamuan Kudus dan Minggu, karena itu adalah hari Tuhan.
Sepanjang tahun, ada banyak periode lain di mana seks dilarang, termasuk 47 hingga 62 hari selama Prapaskah, 35 hari sebelum Natal, dan waktu sekitar Hari Raya Pentakosta, yang berkisar antara 40 hingga 60 hari.
Dalam sejarah Abad Pertengahan, kontak mata adalah bagian penting dari ketertarikan seksual. Dikatakan bahwa “mata bukanlah penerima pasif melainkan aktif mengirimkan sinar penglihatan ke arah objek penglihatan. Tindakan melihat itu sendiri dapat merangsang hasrat dalam diri pengamat dan yang diamati.”
Wanita disarankan untuk berhati-hati saat memandang pria agar tidak menggoda mereka di waktu yang salah.
Mempraktikkan Sihir Bisa Dihukum Mati
Pada Abad Pertengahan, orang tidak memahami berapa banyak hal yang terjadi di sekitar mereka, terutama fenomena alam, sebanyak yang tidak diketahui dunia ilmiah.
Manusia pada umumnya tidak menyukai ketidakpastian, begitu pula orang-orang Abad Pertengahan. Biasanya, Tuhan adalah jawaban mereka untuk hal-hal yang tidak dapat dijelaskan.
Namun, ketika datang ke nasib buruk yang terjadi secara alami seperti penyakit, panen yang buruk, dan kematian hewan, mereka menyalahkan penyihir karena Tuhan, di mata mereka, tidak dapat melakukan kejahatan.
Penyihir diyakini dapat memanggil roh jahat dan setan, tetapi kenyataannya, mereka biasanya hanya wanita tua miskin yang memiliki kucing.
Source | : | listverse |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR