Nationalgeographic.co.id—Samurai Kekaisaran Jepang adalah kelas prajurit yang sangat terampil yang muncul di Jepang setelah reformasi Taika pada tahun 646 M.
Reformasi ini memaksa banyak petani kecil untuk menjual tanah mereka dan bekerja sebagai petani penyewa. Seiring waktu, beberapa pemilik tanah besar mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan, menciptakan sistem feodal yang mirip dengan Eropa abad pertengahan.
Untuk mempertahankan kekayaan mereka, penguasa feodal Jepang menyewa prajurit samurai Kekaisaran Jepang. Samurai adalah prajurit elit Jepang feodal, yang kemudian berkembang menjadi kelas militer yang berkuasa pada Zaman Edo (1603-1837).
Senjata mereka adalah tampilan status dan kekuasaan di Jepang kuno. Misalnya, memakai dua pedang adalah hak istimewa yang diberikan kepada Samurai. Berikut adalah senjata paling penting dari Samurai Kekaisaran Jepang.
Katana – Bilah dan Jiwa Prajurit
Katana adalah pedang panjang melengkung, ramping, berbilah tunggal, dengan pelindung melingkar atau persegi dan pegangan panjang untuk menampung dua tangan. Samurai itu mengenakan katana di pinggul kirinya, dengan ujung menghadap ke bawah.
Katana terbaik dibuat oleh pengrajin ahli yang akan berulang kali memanaskan dan melipat baja untuk menghasilkan bilah dengan kekuatan dan ketajaman yang luar biasa,
Cukup kuat untuk digunakan secara defensif tetapi cukup tajam untuk meluncur melalui tungkai, popularitas katana meningkat karena perubahan sifat perang jarak dekat. Samurai bisa menyerang musuh dalam satu gerakan.
Samurai dianggap identik dengan katananya, karena bushidō mengatakan bahwa jiwa seorang samurai ada di dalam katananya.
Katana sering dipasangkan dengan pedang pendamping yang lebih kecil, seperti wakizashi atau tantō. Memasangkan katana dengan pedang yang lebih kecil disebut daishō.
Wakizashiv – Pisau Bantu
Pedang yang lebih pendek dari katana, wakizashi dipakai bersama dengan katana sebagai daishō – secara harfiah diterjemahkan sebagai “besar-kecil”.
Source | : | History Hit |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR