Plato percaya bahwa cinta melampaui jenis kelamin dan hasrat fisik. Dalam dialognya, salah satu tamu, Phaedrus, mengatakan bahwa cinta adalah Tuhan tertua dan motivator nomor satu bagi manusia untuk menjadi lebih baik.
Pausanias, tamu lainnya, menimpali ucapan Phaedrus dengan mendiskusikan perbedaan antara “Cinta Biasa” dan “Cinta Srugawi”. Cinta Biasa mengacu pada hasrat fisik atau nafsu. Sedangkan Cinta Surgawi yang mengacu pada cinta antara seorang pria yang lebih tua dan seorang anak laki-laki.
Bagi Pausanias, ketika seorang anak laki-laki melakukan hubungan seksual dengan seorang pria yang lebih tua, ia akan mendapatkan pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebajikan.
Agaknya, hal ini sulit untuk didengar saat ini. Cinta Surgawi ini tampaknya lebih menunjukkan pedofilia. Namun, Zoe menjelaskan, ini bukanlah praktik yang tidak biasa di Yunani kuno.
“Biasanya, anak laki-laki muda ditugaskan dengan mentor laki-laki yang lebih tua yang mengajarkan mereka berbagai hal, termasuk seks,” terang Zoe.
Tamu lain di Simposium Plato, seorang dokter bernama Eryximachus, menyatakan bahwa cinta itu luas. Menurutnya, orang dapat menemukan cinta melalui seni, musik, lagu, dan bahkan kedokteran (keahliannya).
Penulis drama komik terkenal, Aristophanes, juga turut buka suara. Ia menjelaskan cinta melalui mitos yang sangat populer di masa itu.
Aristophanes berkisah, pada awalnya manusia memiliki empat lengan dan kaki. Zeus, yang marah pada mereka karena suatu alasan, memotong manusia menjadi dua. Sejak saat itu, setiap manusia merindukan bagian tubuh mereka yang hilang (secara harfiah dan kiasan).
Tidak jelas apakah Plato tidak setuju dengan Phaedrus atau Eryximachus. Namun, Plato, melalui ucapan Socrates, menegaskan bahwa cinta bukanlah tuhan, melainkan sebuah spirit yang dimiliki oleh manusia dan calon kekasih atau pasangannya.
Cinta adalah sesuatu yang lebih besar dari diri kita semua dan kita harus berusaha untuk merasakan spirit itu dengan manusia lain.
Di sela-sela diskusi, ada adegan lucu di mana seorang tamu, Alcibiades, menjadi terlalu mabuk dan mencoba merayu Socrates. Namun Socrates tidak percaya pada hasrat fisik dan segera menolaknya sebelum situasi menjadi tidak terkendali.
“Simposium Plato adalah satu-satunya referensi sastra tentang simposium yang dapat dipelajari oleh para cendekiawan dan sejarawan,” jelas Zoe. “Plato memberi kita gambaran yang luar biasa tentang suasana pesta yang mewah dan intelektual ini.”
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR