Nationalgeographic.co.id—Ratu Zenobia dari Palmyra adalah salah satu tokoh paling memesona dalam sejarah dunia kuno. Zenobia yang ambisius melangkah lebih jauh, berani menentang otoritas kaisar Romawi.
Memerintah Kekaisaran Palmyrene yang berumur pendek, Ratu Zenobia menentang tradisi, menjadi pemimpin wanita yang kuat dan sukses pada periode ketika pria duduk di atas takhta.
Di puncak kekuasaannya, dia memimpin wilayah yang membentang dari Irak modern hingga Mesir, menegaskan otoritasnya dengan paduan diplomasi licik, strategi militer, dan kepemimpinan karismatik.
Zenobia, dikenal sebagai Septimia Zenobia dalam bahasa Latin, lahir sekitar pertengahan abad ke-3.
Tempat kelahirannya adalah Palmyra, sebuah kota penting yang terletak di tempat yang sekarang disebut Suriah modern.
Di persimpangan beberapa kerajaan besar, Palmyra adalah pusat perdagangan, budaya, dan pembelajaran yang berkembang pesat. Dia dikatakan berasal dari keluarga bangsawan Tadmur yang terkemuka.
Ayahnya, Amr ibn al-Zabba, dilaporkan berasal dari garis keturunan 'Julius Aurelius Zenobius' yang termasyhur, yang menunjukkan campuran keturunan Arab, Romawi, dan Helenistik.
Menurut beberapa catatan, Zenobia fasih dalam beberapa bahasa, termasuk Yunani, Aram, Mesir, dan mungkin Latin.
Keserbagunaan linguistik ini diyakini telah sangat meningkatkan keterampilan diplomatiknya dan memperluas cakrawala intelektualnya, termasuk minat khusus pada filsafat dan sejarah Helenistik.
Menikah dengan Odaenathus
Zenobia menjadi istri kedua Septimius Odaenathus, penguasa berpengaruh di Tadmur. Odaenathus, awalnya adalah raja bawahan di bawah Roma, telah naik ke tampuk kekuasaan setelah kemenangannya melawan Persia. Hal ini membuatnya mendapatkan rasa terima kasih dari Kekaisaran Romawi dan gelar "Raja Segala Raja".
Perkawinan mereka yang terjadi sekitar tahun 258 M mengantarkan Zenobia ke ranah kekuasaan dan pengaruh politik yang hanya bisa diharapkan oleh beberapa wanita di masanya.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR