Nationalgeographic.co.id—Setiap budaya memiliki aturan dan tradisinya sendiri. Misalnya di Kekaisaran Tiongkok. Ada pantangan atau tabu bagi seorang wanita Tiongkok kuno yang ditinggal mati suami untuk menikah lagi. Apa alasannya?
Di kekaisaran Tiongkok, mengikuti aturan kesucian masyarakat selama sisa hidup setelah kematian suami adalah prestasi bagi seorang wanita.
Selama periode Negara-Negara Berperang, dikatakan bahwa Raja Wei memberi seorang janda gelar Gaoxing. Gelar itu berarti karakter yang tidak ternoda.
Mengapa si wanita dianugerahi gelar itu? “Konon, dia memilih memotong hidungnya sendiri daripada menerima lamaran sang raja,” tulis Sun Jiahui di laman World of Chinese.
Hal tersebut hanyalah satu dari banyak kasus dengan para janda di Kekaisaran Tiongkok melakukan tindakan menyakiti diri sendiri untuk melindungi kesuciannya. Jika perlu, mereka bahwa rela untuk bunuh diri.
Butuh waktu lebih dari 2.000 tahun bagi wanita di Tiongkok untuk lepas dari norma yang menindas ini.
Ide tentang kesucian wanita yang ditinggal mati suami
Ide tentang janda suci di Tiongkok kuno muncul sejak Periode Musim Semi dan Musim Gugur (770 – 476 Sebelum Masehi). Menurut The Commentary of Zuo, Xigui sang istri raja Negara Xi, dipaksa menikah dengan Raja Chu setelah Chu menaklukkan Xi.
Namun bahkan setelah Xigui melahirkan dua anak laki-laki, dia tidak pernah secara sukarela berbicara dengan suami barunya. Raja bertanya mengapa. Xigui menjawab: “Sebagai seorang wanita, saya menikah dengan dua suami. Karena saya tidak bisa mati, apa yang bisa saya katakan?”
Kisah tersebut mungkin merupakan catatan paling awal tentang wanita yang menyatakan bahwa dia hanya boleh menikah dengan satu pria. Namun pada saat itu, pernikahan kembali bagi para janda tidak dilarang. Kesucian lebih merupakan pilihan pribadi alih-alih norma sosial. Hal itu biasanya terbuka bagi para janda kaya yang tidak memiliki kebutuhan ekonomi untuk menikah lagi.
Pada masa Dinasti Qin (221 – 206 Sebelum Masehi), kaisar pertama Qin Shi Huang mengeluarkan pernyataan mengenai hal ini. “Jika seorang janda yang mempunyai anak laki-laki menikah lagi, itu adalah pengkhianatan terhadap suaminya dan dianggap tidak suci.”
“Tapi sepertinya tidak ada hukuman tertulis bagi para janda yang menikah lagi,” ungkap Jiahui. Juga tidak ada larangan sama sekali untuk menikah kembali bagi para janda yang tidak memiliki anak laki-laki.
Pujian bagi para wanita Kekaisaran Tiongkok yang tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal
Sima Qian juga menulis bahwa Qin Shi Huang pernah membangun sebuah menara untuk seorang janda bernama Qing. Menara itu sebagai simbol kekaguman atas kesuciannya, karena wanita itu tidak pernah menikah lagi setelah suaminya meninggal.
Pada masa Dinasti Han, pemerintah terus memberikan penghargaan kepada para janda suci. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Kaisar Xuan dan Kaisar An menghadiahi para janda suci dengan tekstil dan biji-bijian yang berkualitas.
Perubahan aturan seputar wanita yang menikah kembali di Kekaisaran Tiongkok
Namun masih sangat umum bagi para janda Dinasti Han untuk menikah lagi. Putri Pingyang, kakak perempuan Kaisar Wu, menikah dengan jenderal militer yang berkuasa Wei Qing setelah kehilangan suami pertama dan keduanya.
Zhuo Wenjun, seorang wanita berbakat dari keluarga kaya, menikah dengan penulis Sima Xiangru setelah suami pertamanya meninggal. Kisah cinta mereka adalah salah satu kisah cinta paling terkenal dalam sejarah Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa praktik menikah lagi tidak sepenuhnya dianggap tabu.
Pada Dinasti Jin, ada kasus seorang mertua perempuan membujuk menantu untuk menikah lagi setelah suaminya meninggal. Hal itu dilakukan karena usia si menantu yang masih sangat muda.
Pada masa Dinasti Sui (581 – 618), undang-undang mulai membatasi pernikahan kembali para janda. Janda yang almarhum suaminya adalah pejabat pemerintah dengan pangkat sembilan atau lebih tidak diperbolehkan menikah lagi.
Namun, pada masa Dinasti Tang berikutnya, pemerintah mulai menganjurkan para janda untuk menikah lagi guna meningkatkan angka kelahiran. Kaisar Taizong pernah mengeluarkan dekrit yang mengharuskan para janda untuk mengajukan permohonan menikah lagi kepada pemerintah daerah.
Jika pejabat berhasil membuat mereka menikah dengan cepat, hal ini akan berdampak positif pada penilaian kinerjanya.
Perubahan besar terjadi pada Dinasti Song ketika penganut Neo-Konfusianisme seperti Cheng Yi sangat menekankan kesucian. Dalam teks filosofisnya, Reflections on Things at Hand, Cheng menyatakan bahwa sangat memalukan bagi seorang pria untuk menikahi seorang janda.
Menurutnya, pria yang menikahi wanita yang kehilangan integritasnya pun akah mengalami hal yang sama. Seseorang kemudian menyebutkan bahwa para janda miskin akan mati kelaparan jika tidak menikah kembali. Cheng menjawab, “Mati kelaparan hanyalah masalah kecil. Sedangkan kehilangan integritas adalah hal yang sangat buruk.”
Ketika pemikiran seperti itu menyebar, pernikahan kembali oleh seorang janda masih menjadi hal yang umum, namun mendapat stigma. Undang-undang juga mengatur jika seorang janda menikah lagi, ia tidak dapat mewarisi harta milik suami pertamanya.
Pada masa Dinasti Yuan, undang-undang bahkan melarang seorang janda membawa mas kawinnya jika dia menikah lagi. Hal ini menunjukkan bahwa semua harta pribadinya adalah milik keluarga suami pertamanya.
Pada dinasti Ming dan Qing, kesucian janda semakin menonjol. Pemerintah akan memberikan penghargaan kepada janda jika tak pernah menikah lagi sepanjang hidupnya. Juga bagi mereka yang melakukan bunuh diri untuk menolak pemerkosaan dan yang bunuh diri setelah suaminya meninggal.
Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Ming, turut memberi penghargaan. Ia memutuskan bahwa jika seorang janda kehilangan suaminya sebelum usia 30 tahun dan tidak menikah lagi setelah usia 50 tahun, keluarganya akan dibebaskan dari kerja paksa.
Bahkan, pejabat akan membangun gerbang untuk menghormati para janda suci tersebut. Ironisnya, nama kecil sang wanita tidak ditulis di gerbang itu. “Hanya nama belakangnya saja atau nama keluarga suaminya,” Jiahui menambahkan lagi.
Hal itu menunjukkan bahwa seluruh keluarga termasuk dalam penghormatan tersebut.
Kesucian wanita untuk menjaga garis keturunan keluarga di Kekaisaran Tiongkok
Kesucian janda juga dianggap penting untuk menjaga garis keturunan keluarga di Kekaisaran Tiongkok. Jika seorang janda mempunyai anak laki-laki, tanggung jawab utamanya adalah membesarkan keturunan keluarga mendiang suaminya.
Otoritas Qing juga tidak begitu mementingkan kasus bunuh diri para janda. Justru sebaliknya, mereka mendorong wanita untuk tetap menjaga kesucian. Tujuannya agar wanita bisa fokus merawat anak-anak dan mertua yang sudah lanjut usia.
Dengan dipromosikannya nilai-nilai tersebut ke seluruh masyarakat, tidak mengherankan jika jumlah janda yang suci meningkat pada periode Qing. Menurut penelitian sejarawan abad ke-20 Dong Jiazun, sebelum Dinasti Song, hanya ada 92 wanita yang menerima penghargaan atas kesucian. Namun, pada Dinasti Ming, terdapat lebih dari 27.000 orang.
Pada Dinasti Qing terdapat lebih dari 1 juta wanita yang dipuji oleh pemerintah atas kesuciannya. Hal ini diungkap oleh sejarawan Guo Songyi di The General History of Chinese Women.
Saat ini, gerbang kesucian kuno ini masih dapat ditemukan di banyak tempat di Tiongkok. Dari sedikit karakter yang tertulis, tidak diketahui berapa banyak wanita yang kehilangan kebahagiaan, kesehatan, dan nyawanya demi “kehormatan” ini.
Penulis Lu Xun mengungkapkan, “Wanita suci adalah orang-orang yang menyedihkan. Mereka jatuh ke dalam perangkap sejarah dan angka-angka yang tidak disadari. Juga melakukan pengorbanan tanpa nama. Mereka berhak mendapatkan upacara peringatan.”
Ribuan tahun berlalu, wanita di Tiongkok akhirnya bisa terlepas dari norma yang menindas ini.
Source | : | The World of Chinese |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR