Nationalgeographic.co.id – Jack Ketch dikenal sebagai algojo tersadis dalam sejarah abad pertengahan. Selama periode abad pertengahan hingga era Tudor, eksekusi adalah hal biasa di Inggris.
Raja seperti Henry VIII mengeksekusi ribuan rakyatnya, termasuk dua istri dalam sejarah abad pertengahan. Ratu seperti Mary I yang mendapat julukan Bloody Mary membakar bidat Protestan di tiang pancang.
Bahkan keluarga kerajaan pun tidak aman dari kematian yang cepat dan brutal. Misalnya, Charles I dieksekusi selama Perang Saudara Inggris pada tahun 1649.
Di balik setiap korban yang dieksekusi, ada orang yang berperan sebagai algojo. Salah satu algojo yang paling terkenal adalah Jack Ketch. Lalu, bagaimana kesehariannya dalam menjalankan profesinya?
Kehidupan Awal Jack Ketch
Jack Ketch adalah salah satu dari sedikit orang yang namanya masih dikenal hingga saat ini. Namanya menjadi identik dengan kematian dan 'iblis' di Inggris karena peristiwa berdarahnya pada akhir abad ke-17.
Ketch magang di bawah bimbingan Edward Dunn dan menggantikannya sebagai algojo pada tahun 1663. Dunn sendiri magang di bawah bimbingan Richard Brandon, yang terkenal mengeksekusi Charles I.
Penyebutan Ketch yang tercatat pertama kali terjadi di pengadilan tanggal 14 Januari 1676, dan selebaran tahun 1678. Dia digambarkan sedang mengeksekusi martir Katolik, Edward Colman.
Sebuah dokumen tahun 1681 juga menjelaskan bagaimana Ketch menggantung seorang pria bernama Stephen College selama setengah jam sebelum memotongnya dan membuang isi perutnya ke dalam api.
Pada tahun 1682, Ketch melakukan pemogokan dan mampu menegosiasikan upah yang lebih baik. Selain menawar gaji algojo, Ketch bisa menjual pakaian orang mati atau tali yang menggantungnya dan kemungkinan besar menerima suap dari korbannya sebagai imbalan agar eksekusinya lebih cepat atau lebih bersih.
Pada titik ini, Ketch hanyalah seorang pelayan kerajaan, yang melakukan eksekusi jika diperlukan. Namun, dalam beberapa tahun ke depan, dia melakukan dua eksekusi gagal yang membuat namanya ternoda.
Eksekusi Lord William Russell
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR