Sejak 1969, perusahaan negara tersebut telah disinggung media massa dengan kuatnya aktivitas korupsi. Kebiasaan ini berlanjut saat Indonesia mendapatkan momen emasnya dari krisis minyak. Petaka ini membuat Pertamina mengalami krisis hutang 1974-1975.
Perusahaan minyak Indonesia itu tidak dapat melunasi berbagai hutang jangka pendek yang kebanyakan "gali lubang tutup lubang". Melansir Tempo 29 Februari 1992, Pertamina mengemban hutang sebesar 10,5 miliar dolar AS yang telah jatuh tempo sekitar 1974-1975.
Konsorsium yang kebanyakan berbasis di AS ramai-ramai menagih hutang jangka pendek dan jangka panjang kepada Pertamina. Satria Permana dalam skripsi bertajuk "Badai di Tengah Oil Boom: Krisis Manajemen Keuangan Pertamina Tahun 1974-1975" mengungkapkan hutang yang ditagih sudah jatuh tempo.
pada 1975, Soeharto menginstruksikan perubahan besar pada Pertamina. Berbagai kewenangan seperti mengelola keuangan secara mandiri dan berbagai sistemnya dirombak. Setahun berikutnya, Ibnu Sutowo dan tujuh direktur Pertamina lainnya diberhentikan. Krisis Pertamina pun berangsur-angsur mereda.
Bonanza kedua dari minyak datang pada 1979. Penyebabnya masih disebabkan embargo minyak mentah di Timur Tengah, ditambah dengan dorongan Revolusi Iran 1979. Revolusi itu menyebabkan persediaan minyak Iran terganggu. Namun, sejarah dunia terkait pasar minyak kembali bertumbuh dengan permintaan yang melesat.
Angin segar ini menjadi sumber tidak disangka bagi Indonesia yang kedua kalinya setelah 1973. Upaya Pemerintah Indonesia saat masa awal Orde Baru untuk mengembangkan investasi tidak main-main. Terhitung dari bonanza pertama hingga kedua, pertumbuhan investasi meningkat drastis sebesar 3.296 persen.
Source | : | Indonesia Baik |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR