Nationalgeographic.co.id - Harpocrates adalah hasil dari perpaduan budaya yang terjadi di Mesir Helenistik. Meskipun ia disembah oleh orang-orang Aleksandria yang berbahasa Yunani, citra dan mitologinya diambil dari sumber-sumber Mesir.
Sepanjang sejarah kuno, budaya Yunani meluas melalui perdagangan, penjajahan, dan penaklukan. Dari Semenanjung Peloponnesia dan pulau-pulau di sekitarnya, dunia Yunani meluas hingga mencakup Italia, Afrika Utara, Asia Kecil, dan beberapa bagian Timur Dekat.
Salah satu sumber terbesar penyebaran budaya Yunani adalah keberhasilan militer Alexander Agung. Ekspedisi milter Makedonia membawa pengaruh Yunani yang lebih besar ke Mesir, Persia, dan bahkan sampai ke India.
Perjalanan Aleksander mengantarkan Era Helenistik dalam sejarah Yunani. Meskipun banyak tempat yang ditaklukkannya tidak bertahan lama di bawah kendali Yunani, ada pula yang dibawa masuk ke dalam dunia Yunani.
Salah satunya adalah Mesir, di sana terdapat sebuah budaya yang telah berusia ribuan tahun pada masa Alexander. Dinasti terakhir yang berkuasa di Mesir, Ptolemeus, adalah keturunan dari salah satu jenderal Aleksander yang paling setia.
Dilansir dari laman Mythology Source, Mike Greenberg menjelaskan, kekuasaan Yunani di Mesir menciptakan perpaduan budaya. Seni, sastra, dan agama dari Era Helenistik memadukan tradisi Mesir dan Yunani untuk menciptakan budaya Helenistik yang unik.
“Terkadang, perpaduan ini menghasilkan penciptaan dewa-dewa baru. Salah satu contoh bagaimana pengaruh Yunani dan Mesir menciptakan dewa baru yang tak terduga adalah Harpocrates, dewa keheningan Helenistik,” jelas Mike.
Harpocrates
Harpocrates bukanlah dewa dari mitologi Yunani kuno atau klasik. Kultusnya tidak berkembang hingga era Hellenistik, masa ketika koloni dan pemukiman Yunani di luar negeri berkembang pesat.
Pemujaannya terutama berpusat di Aleksandria, ibu kota Ptolemeus di Mesir. Didirikan oleh Alexander Agung, kota ini berfungsi sebagai pusat budaya Yunani Helenistik di Lembah Sungai Nil.
Menurut Mike, Harpocrates digambarkan sebagai dewa muda yang kekanak-kanakan dengan jari-jarinya di bibirnya.
“Dia sering ditampilkan dengan pakaian dan gaya rambut seorang anak laki-laki Mesir, bukan dengan cara yang biasa digambarkan dalam karya seni Yunani,” jelas Mike.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR