Dalam catatannya, Dubois menyampaikan bahwa 20 tahanan itu bekerja lambat "seperti katak di musim dingin". Sampai akhirnya, tim ekspedisi itu menemukan tengkorak dan gigi geraham yang tidak normal di sebuah dasar tanah liat Sungai Bengawan Solo di dekat Trinil, Ngawi pada 1891.
Sempat dikira, benda tersebut adalah sisa-sisa penyu karena tutup tengkorak manusia purba begitu menebal di dahinya. Kemudian, lapisan tanah dibor sampai bagian bawah hingga menyingkap bentuknya sebagai tengkorak.
Sisa tubuhnya baru tersingkap setahun kemudian berupa tulang paha kiri sekitar 15 meter dari tempat tengkorak. Dalam analisisnya, Dubois memperkirakan bahwa fitur kerangka ini tidak terdapat pada kera, tidak cocok untuk memanjat pohon, dan memiliki fungsi yang sama seperti tubuh manusia.
Dubois yakin, kerangka ini merupakan spesies yang dapat "berdiri tegak dan bergerak seperti manusia". Temuannya itu kemudian dinamai Pithecanthropus erectus yang kelak dipadankan dengan Homo erectus—spesies manusia purba yang umum di Asia. Inilah temuan yang paling populer dari sejarah purbakala di Pulau Jawa.
Setelah dinas militer di Hindia Belanda usai pada 1895, Dubois sempat mengunjungi situs penggalian Situs Shivalik di India utara. Di sana terdapat berbagai temuan vertebrata purba seperti kura-kura raksasa, gajah purba (stegodon), kuda nil, dan buaya.
Kembali ke Belanda
Setelah usai masa tugasnya di negeri koloni, Dubois kembali ke Belanda dengan membawa kerangka yang ditemukannya di Trinil. Selama perjalanan dan di Eropa, beberapa kali Dubois nyaris kehilangan kerangkanya yang disimpan dalam peti atau "tas kerjanya", termasuk ketika ia hendak membawanya ke dalam pameran di Paris pada 1900.
Bagaimana pun, temuan purbakala dan ekspedisi ke Hindia telah membesarkan nama Dubois dalam sejarah. Pada 1897, ia dianugerahi Doktor Kehormatan (Honoris Causa) oleh University of Amsterdam untuk bidang botani dan zoologi.
Dubois juga bekerja sebagai kurator terkait paleontologi, geologi, dan mineralogi di Museum Teylers sejak 1897 hingga 1928. Penugasan ini membuatnya dan keluarganya yang sebelumnya tinggal di Den Haag, berpindah ke Haarlem. Pada 1899, University of Amsterdam menjadikan Dubois sebagai profesor kristalografi, mineralogi, geologi, dan paleontologi.
Dari sinilah, Dubois juga menghadirkan beberapa makalah ilmiah tentang struktur geologis di Belanda. Antara tahun 1911 dan 1920, ia menerbitkan sekitar 27 artikel. Pekerjaannya di bidang ilmiah mendapatkan gelar kebangsawanan dari Kerajaan Belanda.
Popularitasnya pun begitu terkenang di kampung halamannya, Eijsden. Warga sana sangat bangga dengan Dubois dan menyebutnya sebagai "profesor kami". Bahkan, majalah lokal Uit Eijsden Verleden mendedikasikan terbitan khusus untuk Dubois.
Source | : | Wiley Online Library,Historiek |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR