Nationalgeographic.co.id—Permainan gladiator adalah salah satu tontonan paling populer di sejarah Romawi kuno. Ribuan penonton berbondong-bondong ke Colosseum untuk menyaksikan para pejuang terlatih bertarung satu sama lain sampai mati, semuanya untuk hiburan massa.
Namun, di balik layar permainan brutal ini, terdapat dunia rahasia para gladiator dalam sejarah Romawi kuno. Kehidupannya sangat berbeda dari gambaran publik tentang kekuatan, kejayaan dan kemenangan.
Di Roma kuno, gladiator sering kali adalah budak atau tawanan perang yang dipaksa melakukan profesi tersebut. Mereka dilatih di sekolah khusus, yang disebut ludi. Mereka mempelajari teknik pertarungan pedang, gulat dan bentuk pertarungan lainnya.
Pelatihannya keras dan menuntut, dengan para gladiator harus menjalani diet, olahraga, dan disiplin yang ketat. Meskipun publik mungkin melihat para gladiator sebagai pejuang yang ganas, kehidupan mereka jauh dari kata glamor.
Mereka dikurung dalam kondisi yang sempit, kumuh dan sering menderita kekurangan gizi dan penyakit. Banyak yang terpaksa tampil di beberapa pertunjukan dalam sehari, membuat mereka kelelahan secara fisik dan mental.
Gladiator di Roma kuno menjalani pelatihan yang ketat dan terspesialisasi untuk mempersiapkan pertempuran brutal mereka di arena.
Pelatihan ini dirancang untuk mengembangkan kekuatan fisik, kelincahan, dan daya tahan mereka, serta mengajari keterampilan yang dibutuhkan untuk bertarung dan bertahan di arena.
Pelatihan dimulai dengan periode pengondisian, di mana para gladiator menjalani serangkaian latihan yang dirancang untuk meningkatkan stamina dan kebugaran mereka secara keseluruhan. Hal ini termasuk lari, lompat, senam, serta angkat beban dan bentuk latihan kekuatan lainnya.
Setelah para gladiator membangun kebugaran fisiknya, mereka akan mulai mempelajari teknik bertarung khusus yang diperlukan untuk senjata dan gaya bertarung pilihan mereka. Pelatihan ini sangat terspesialisasi dan bervariasi tergantung pada jenis gladiator.
Misalnya, seorang gladiator Thracia akan dilatih menggunakan pedang melengkung dan perisai kecil, sedangkan Retiarius akan dilatih menggunakan trisula dan jaring.
Para gladiator juga menerima pelatihan pertarungan tangan kosong dan gulat, serta taktik untuk melawan banyak lawan. Mereka sering melatih keterampilan bertarung mereka melawan gladiator lain, terkadang dalam pertarungan tiruan, untuk membantu mempersiapkan mereka menghadapi pertarungan nyata.
Untuk membantu mengembangkan ketangguhan mental dan mempersiapkan diri menghadapi tekanan di arena, para gladiator menjalani pelatihan psikologis yang intens. Hal ini mencakup paparan gambar dan suara kekerasan, serta teknik untuk mempertahankan fokus dan kontrol di bawah tekanan.
Bukti arkeologis telah mengungkapkan beberapa wawasan menarik tentang pola makan para gladiator di sejarah Roma kuno. Studi terhadap sisa-sisa kerangka gladiator menunjukkan bahwa mereka mengonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat, seperti biji-bijian dan kacang-kacangan, serta rendah daging.
Dalam catatan sejarah Romawi kuno, gladiator pada dasarnya adalah vegetarian. Makanan mereka terdiri dari kacang-kacangan, lentil, dan jelai yang murah dan mudah didapat.
Mereka juga mengonsumsi minuman berbahan dasar jelai dalam jumlah besar yang disebut posca. Minuman asam seperti cuka ini membantu menghidrasi para petarung selama latihan dan pertunjukan.
Daging yang merupakan makanan mewah di zaman Romawi kuno, dikonsumsi dalam jumlah lebih kecil.
Beberapa gladiator, seperti mereka yang dikenal karena kekuatan dan daya tahannya, diberi akses terhadap daging berkualitas lebih tinggi, seperti daging sapi, untuk membantu membentuk otot dan meningkatkan performa.
Selain pola makan rutinnya, para gladiator juga diketahui mengonsumsi suplemen untuk meningkatkan performa fisik dan mentalnya. Misalnya, mereka biasa mengonsumsi ramuan yang terbuat dari darah hewan dan abu yang dipercaya dapat meningkatkan stamina dan daya tahan tubuh.
Para gladiator juga tunduk pada hierarki yang ketat, dengan petarung terbaik menerima perlakuan terbaik dan petarung terburuk diperlakukan seperti binatang.
Beberapa gladiator paling terampil mampu memperoleh ketenaran dan kekayaan. Banyak yang menjadi terkenal, bahkan mendapatkan kebebasan.
Namun, bagi sebagian besar orang, kehidupan gladiator adalah siklus kekerasan, ketakutan, dan ketidakpastian yang tidak pernah berakhir.
Meski dalam kondisi brutal, beberapa gladiator mampu menjalin ikatan erat satu sama lain dalam catatan sejarah Romawi kuno.
Mereka sering kali tinggal bersama di barak dan membentuk hierarki sosial mereka sendiri, dengan gladiator senior membimbing dan melindungi yang lebih muda.
Meskipun permainan gladiator tidak diragukan lagi merupakan tontonan yang penuh kekerasan dan berdarah, kehidupan rahasia para gladiator yang bertarung di dalamnya jauh lebih kompleks daripada yang disadari banyak orang.
Orang-orang ini dipaksa menjalani kehidupan yang penuh kekerasan dan kematian, dan menemukan makna dalam hidup mereka. Saat kita melihat kembali babak brutal dalam sejarah Romawi kuno ini, penting untuk mengingat kemanusiaan yang ada di balik tontonan umum pertandingan gladiator.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR