Nationalgeographic.co.id—Kawasan karst Bukit Bulan mengundang Mohammad Ruly Fauzi pada 2015. Saat itu, ia tengah melakukan eksplorasi berdasarkan berbagai peta geologi. “Awalnya, menemukan situs itu gue pengin singkapan karst yang belum pernah diketahui dari peta geologi,” terang Ruly yang kini bekerja sebagai arkeolog prasejarah Pusat Riset Arkeometeri BRIN.
Tak dinyana Ruly. Kunjungannya ke Bukit Bulan ketika di masih menjadi peneliti di Balai Arkeologi Sumatra Selatan, justru menyingkap ragam situs arkeologi yang kaya. Bahkan, kawasan karst di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun, Jambi ini memiliki gambar cadas terbanyak di Sumatra.
"Lebih banyak [di] Bukit Bulan, mas," kata Ruly setelah saya tanyakan perbandingannya dengan jumlah lukisan cadas di Sumatra Barat.
Setahun kemudian, Ruly menggagas serangkaian penelitian yang berlangsung hingga 2019. Penelitian ini berkolaborasi dengan para ahli multidisiliplin dan mahasiswa. Bersama tim, Ruly meneliti pada 82 gua dan ceruk di Bukit Bulan, 22 di antaranya merupakan situs gua hunian. Mereka berhasil mengekskavasi lebih dari 46.000 spesimen yang diperkirakan berasal dari 6.600 sampai 1.700 tahun yang lalu.
"Yang kami temukan ialah, untuk pertama kalinya dalam tradisi Austronesia mirip dengan cadas di timur Indonesia. Untuk pertama kalinya kami menjumpai hewan, manusia, antropomorfik, termasuk tanaman," Ruly menerangkan. Sebelumnya, gambar cadas di Sumatra diketahui hanya geometris dengan jejak purbakala. Lukisan cadas di Bukit Bulan berusia sekitar 3.000 tahun.
Bagi masyarakat berbagai desa di sekitar Bukit Bulan, kawasan karst ii punya makna tersendiri. Nama Bukit Bulan sendiri berasal dari morfologi karst ini. Di tebingnya, ada dua singkapan kapur putih yang tak tertutup oleh pepohonan sekitarnya sehingga terlihat seperti dua bulan purnama kala malam.
Bagi masyarakat, dua singkapan bak bulan ini merujuk pada laki-laki dan perempuan. Masyarakat Bukit Bulan yakin, kawasan karst ini berhubungan dengan asal-usul kependudukan kampung mereka.
Keyakinan ini bagai divalidasi oleh Ruly ketika melakukan penelitian arkeologi di sana. Dia tidak hanya menemukan cadas, tetapi juga berbagai temuan fisik berupa fragmen tulang jari manusia dan ragam perkakas, termasuk tembikar.
Kebanyakan situs prasejarah yang ditemukan berada di bagian barat karst Bukit Bulan, tepatnya di Desa Napal Melintang. Satu di antaranya adalah Gua Mesiu yang menunjukkan jejak hunian dari 6.600 (Pra-Neolitik) hingga 1.700 (Neolitik) tahun yang lalu.
Penghuni Bukit Bulan Purbakala
Ada beberapa desa yang berada di sekitar Bukit Bulan. Semuanya digabungkan sebagai Margo Bukit Bulan. Kawasan ini menjadi rumah bagi Suku Batin, Melayu Jambi, Suku Anak Dalam, dan pendatang.
"Alam membentuk karakter budaya mereka," kata Ruly. Bentang alam Bukit Bulan yang keras membuat manusia harus beradaptasi dengan ruang tempat bertinggal.
Penyesuaian ruang ini sudah berlangsung sejak manusia prasejarah, berkat medan karst yang menghasilkan gua untuk peradaban purbakala bertempat tinggal. Berdasarkan pengamatan Ruly dan tim, penduduk prasejarah yang tinggal bukanlah masyarakat pertanian. Tidak ada dataran yang cukup luas untuk kegiatan agrikultur.
"Kalau dilihat dari elemen-elemennya menunjukkan bahwa penghuninya masyarakat Austronesia, namun ada yang menarik dari Bukit Bulan," ungkap Ruly. Ada ketidaksesuaian dengan teori arkeologi yang mengungkapkan bahwa migrasi penutur Austronesia ketika sampai di kepulauan Indonesia.
Namun, di Bukit Bulan menunjukkan bahwa penduduk purbakalanya mungkin lebih menonjol dengan kebudayaan perburuan. "Dia semacam pola yang benar-benar bisa dicerminkan oleh masyarakat sekarang," lanjut Ruly.
"Tapi kalau kita lihat sekarang kan, ada beberapa suku di Indonesia yang masih mempraktikkan perburuan. Meskipun dia juga bercocok tanam, tapi enggak terlalu intens. Kira-kira apa ya yang menyebabkan mereka seperti itu?"
Beberapa suku Austronesia hari ini masih mencari makan di hutan alih-alih bertani, misalnya Punan Batu di Kalimantan dan Suku Anak Dalam yang tinggal dekat dengan Bukit Bulan. "Mungkin orang yang menghuni gua-gua di Bukit Bulan adalah masyarakat neolitik yang seperti itu (meramu makanan) yang sebenarnya sudah punya pengetahuan bercocok tanam, tetapi tanpa bercocok tanam pun bisa hidup."
Ada banyak hewan yang ditemukan di sekitar Bukit Bulan seperti monyet ekor panjang, babi, siamang, lutung, landak, rusa dan kancil, musang, biawak, kelelawar, ular, piton, serta berbagai jenis ikan dan kura-kura. Fauna ini masih ada sampai sekarang. Semua hewan ini dimakan oleh penghuni gua di Bukit Bulan purbakala dengan jejak pembakaran pada situs.
Aneka makanan ini menunjukkan bahwa penghuni Bukit Bulan mungkin bukan berburu secara aktif dengan senjata, melainkan pasif dengan jebakan. "Jadi range spektrum apa yang bisa dimanfaatkan (penghuni purbakala) itu luas banget, itu dinamakan bush meat, daging semak," kata Ruly.
Tulang belulang milik satwa seperti siamang juga digunakan oleh manusia sebagai senjata atau jebakan baru. "Kita bisa bayangkan, enggak mungkin mereka berburu atau menaruh jebakan satu teritori aja. Mereka harus jauh. Jadi cakupan catchment areanya itu luas banget," lanjutnya.
Ruly dan tim juga menemukan berbagai perangkap yang digunakan penduduk sekitar hari ini di dekat gua yang digunakan untuk berburu. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut sudah diwariskan, setidaknya dari 4.000 tahun yang lalu.
Aktivitas perburuan pasif ini juga didukung denga pelbagai temuan perkakas berbahan batu obsidian yang ditinggalkan penghuni gua. Ukuran batuan obsidian yang digunakan terlalu kecil dari biasanya yang ditemukan oleh para arkeolog di situs lain.
Kecilnya obsidian dalam perkakas menandakan bahwa batuan tersebut berasal dari tempat yang sangat jauh, dan menjadi sangat berharga untuk dipakai secara masif.
"Ibaratnya kayak emas. Emas kalau gampang ditemukan pasti yang disimpan ukurannya gede. Kalau emasnya bukan dari tempat sekitar, ya yang disimpan paling yang kecil-kecil. Nah, sama dengan obsidian ini. Obsidian ini berharga dan tempatnya pasti jauh," jelas Ruly.
Dugaan ini didukung dengan Bukit Bulan yang terdiri dari karst. Karst bukanlah batuan vulkanik seperti obsidian, sehingga geologisnya tidak mendukung pembentukan batuan seperti itu. Karst berasal dari proses geologis yang terangkat dari bawah laut.
Selama penelitian, Ruly mencari sumber deposit obsidian yang berasal dari sungai yang bersumber dari gunung vulkanik. Dia bersama tim menemukan deposit obsidian yang memiliki karakteristik kimia yang sama dengan jejak perkakas di Bukit Bulan di Sungai Tembesi. Sungai berhulu dari Gunung Masurai, gunung vulkanik yang telah mati, dan bermuara ke Sungai Batanghari.
Perlindungan situs purbakala dan lingkungan Bukit Bulan
Meski ada banyak temuan kepurbakalaan di Bukit Bulan, kawasan ini belum dijadikan sebagai cagar budaya yang dilindungi. Ancaman lainnya dari pelestarian situs purbakala ini muncul dari wacana pembangunan pabrik semen yang juga berdampak pada lingkungan masyarakat Margo Bukit Bulan.
"Ada yang kontra, ada yang pro," kata Ruly. "Masyarakat hari ini sebagian besar bertani. Sebenarnya mereka sudah ditahap yang cukup gitu, maksudnya, tapi penduduk makin padat jadi timbul kebutuhan yang lainnya."
"Di satu sisi, kita tahu loh pertanian di Indonesia enggak terlalu maju. Hal itu sangat disayangkan. Di Indonesia sawahnya banyak, tapi petaninya miskin," lanjut Ruly.
Karena kebutuhan ekonomi itu, kalangan pendukung pembangunan berharap akan adanya lapangan pekerjaan. Namun, pabrik semen itu juga mengancam karst.
"Ada kata-kata masyarakat soal Bukit Bulan: 'Apalah arti kami tanpa Bukit Bulan?' Tanpa Bukit Bulan, kampung mereka tidak berbeda dengan yang lain," ujar Ruly. "Jadi kalau mau tetap ada pembangunan [pabrik semen], biarlah situs itu tetap terjaga."
PGN Tanam 5.000 Mangrove di Semarang: Awal Komitmen untuk Dampak Lingkungan dan Ekonomi yang Lebih Besar
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR