Nationalgeographic.co.id—Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sedang gencar-gencarnya mencari calon pemain naturalisasi untuk tim nasional sepak bola Indonesia. Kebanyakan pemain yang sudah didatangkan berasal dari Belanda dan punya darah keturunan Maluku dari orang tua atau kakek nenek mereka.
Beberapa pemain naturalisasi Indonesia dari Belanda yang memiliki darah Maluku adalah Ragnar Oratmangoen, Shayne Pattynama, hingga Stefano Lilipaly. Dan sebaliknya, banyak pula pemain timnas Belanda yang berdarah Maluku, misalnya Tijjani Reijnders, Ruud Gullit, Giovanni van Bronckhorst, Roy Makaay, Nigel de Jong, John Heitinga, hingga Simon Tahamata.
Mengapa ada banyak pemain sepak bola Belanda yang berdarah Maluku? Atau lebih spesifiknya, mengapa ada banyak orang Maluku di Belanda?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelisik sejarah Indonesia di masa akhir Hindia Belanda. Setelah Belanda kalah dalam Perang Dunia II dan dipaksa hengkang dari Nusantara, terjadilah eksodus besar-besaran dari Nusantara ke Belanda.
Eksodus imigran pascakolonial yang terdiri dari kelompok-kelompok yang terkait dengan penguasa kolonial mau tidak mau terjadi setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 yang disusul dengan penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1949. Istilah pascakolonial dalam arti sempit berarti “setelah masa penjajahan” atau juga setelah perang.
Di antara para pendatang pascakolonial yang berangkat dari Hindia Belanda, terdapat sekitar 12.500 pendatang asal Maluku, terdiri dari 4.000 orang eks tentara Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) yang didampingi 8.500 orang anggota keluarganya.
Pada tanggal 21 Maret 1951 kapal pertama, Kota Inten, yang membawa warga Maluku tiba di Belanda. Kini, sudah 71 tahun diaspora Maluku datang dan menetap di Belanda.
Imigrasi orang Maluku ke Belanda bukanlah keputusan sembarangan. Pessireron (2003) menyebutkan bahwa eks pasukan KNIL yang pernah menjadi ujung tombak pasukan Belanda di Hindia Belanda mau tidak mau harus berimigrasi (semula dimaksudkan untuk sementara) dari Hindia Belanda ke Belanda pada tahun 1951. Langkah ini dilatarbelakangi karena alasan politik yang timbul akibat proses dekolonisasi.
Amersfoort & van Niekerk (2006) juga menyatakan bahwa sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2 Belanda hanya mengakui dua kelompok besar imigran pascakolonial yang masuk ke wilayah Belanda, yaitu dari Hindia Barat dan Hindia Timur (Hindia Belanda). Kelompok yang berasal dari Hindia Barat (wilayah Karibia) antara lain Suriname (Guyana Belanda) dan Antillen Belanda. Rombongan Hindia Belanda yang tiba di Belanda terdiri dari 'Indische Nederlanders' atau orang IndoBelanda dan orang-orang Maluku yang merupakan mantan tentara KNIL.
KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang diresmikan pada tahun 1830 awalnya terdiri dari 600 perwira Eropa, 37 perwira pribumi, dan 12.905 bawahan (bintara dan tamtama). Imigran dari Hindia Barat datang ke Belanda karena alasan ekonomi, sedangkan imigran dari Hindia Timur pindah ke Belanda karena alasan politik (Stevens, et.al, 2011).
Schot (2013) mengklasifikasikan para imigran ini sebagai orang Belanda totok dan kelompok 'Indische Nederlanders' (berasal dari Indonesia dan New Guinea (Irian Barat)) yang masuk ke Belanda sebagai 'repatriat'. Termasuk mantan prajurit KNIL beserta keluarganya yang berasal dari pulau-pulau di Maluku Utara, Maluku Tenggara, dan Maluku Tengah.
Yang termasuk dalam 'repatrianten' adalah: warga negara Belanda yang bekerja di berbagai perkantoran, perkebunan, sekolah, dinas KNIL, dan pemerintahan (sering disebut dengan 'totok' atau totok); Indo-Belanda (warga keturunan Belanda yang kewarganegaraannya diakui pemerintah Belanda); prajurit KNIL yang berasal dari kepulauan Maluku Utara, Maluku Tenggara, dan Maluku Tengah yang bermigrasi ke Belanda setelah penyerahan kedaulatan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia; Warga Ambon dan Belanda yang bertugas di Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda).
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR