Nationalgeographic.co.id—Jakarta selalu sumpek penduduk diisi oleh masyarakat urban. Setiap tahunnya, selalu ada perantau yang datang. Dalam sebuah pernyataan pada Februari 2023, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta diserbu 151 ribu perantau sejak 2022.
Di sisi lain, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah provinsi dengan migrasi keluar seumur hidup terbanyak (merantau) sepanjang 2020-2022, melansir data Badan Pusat Statistik (BPS). Selama dua tahun, enam juta penduduk Jawa Tengah dan 3,47 juta penduduk Jawa Timur meninggalkan provinsinya.
Jakarta, sebagai kota yang dipenuhi masyarakat urban, ternyata masyarakatnya banyak yang merantau keluar. Sementara Jakarta menjadi terbesar ketiga di bawah Jawa Timur dengan jumlah 3,06 juta jiwa untuk migrasi keluar seumur hidup.
Berbagai pakar sosiologi menyebutkan, kalangan perantau akan memilih kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar sebagai tujuan. Tren ini sudah ada sejak lama, sehingga menghadirkan masyarakat yang akan pergi mudik kala hari raya Idulfitri.
Pasalnya, daya tarik kota memang sudah ada sejak lama. Semasa Hindia Belanda membangun berbagai kota dengan infrastruktur yang memadai pemerintahan dan bisnis, sebagaimana yang dijelaskan Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota.
Purnawan menulis, kota melahirkan kesempatan kerja yang luas, sehingga mendorong urbanisasi masyarakat dari pedesaan.
"Orang-orang dari desa berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih menjanjikan akibat kemiskinan di pedesaan, sekaligus menikmati kota yang telah melahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaum pendatang," tulis Purnawan.
Keadilan Kota dan Desa
Tradisi mudik di Indonesia menjadi cerminan betapa besar masyarakat yang melakukan urbanisme. Para pakar ekonomi menyebutkan bahwa urbanisme disebabkan kemiskinan di pedesaan dan sedikitnya peluang lapangan kerja.
Akan tetapi, urbanisme bukan selalu tentang masalah harapan ekonomi, melainkan juga faktor gaya kehidupan industri yang berkembang di kota. Agus Maladi Irianto, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro menjelaskan bahwa selain ekonomi, faktor gaya kehidupan industri juga memicu urbanisme.
Buktinya, masyarakat di perkotaan tidak selalu mengisi sektor formal seperti pekerja pabrik atau perusahaan atau kantor pemerintah.
Kehidupan industri perkotaan menawarkan peluang tinggal di kota dengan mata pencaharian informal, misalnya pedagang kaki lima, penjual koran, penyemir sepatu, pengemis atau pelacur. Lagi pula, pekerjaan informal juga menghasilkan pendapatan yang bervariasi, bahkan lebih besar dari karyawan formal.
"Kota, bagi para pemudik, tak lebih dari rumah tempat berteduh, mereka merasa tempat tinggalnya masih di desa asalnya," tulis Agus dalam makalah Mudik dan Keretakan Budaya. "Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya) cenderung lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal (dalem)," lanjutnya.
"Jika sikap primordial ini lebih mengemuka, maka kota selama ini lebih disikapi sebagai 'tempat berteduh' itu, hanya menyisakan kemacetan jalan raya, kekumuhan perumahan, bahkan kriminalitas semata yang justru menciptakan keretakan budaya," pungkasnya.
Tiada salahnya untuk merantau ke kota. Akan tetapi, kondisi desa yang memang kurang secara infrastruktur semakin ketertinggalan dalam aspek sosialnya. Kehidupan industri perkotaan membawa petaka keberlanjutan sektor pertanian di pedesaan.
Lukas Bonar Nainggolan dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyingkap hanya ada sedikit anak muda yang ingin menjadi petani di pedesaan.
Temuan itu diungkap Lukas dalam makalah "An experiment on the link between risk preferences and the willingness to become a farmer" di Journal of the Agricultural and Applied Economics Association. Petani di di Indonesia mengalami peningkatan, namun hanya sedikit usia muda yang ingin berpindah ke desa untuk melakukan pekerjaan seperti itu.
"Berarti enggak ada regenerasinya. Jadi, yang tua masih jadi petani enggak ada menggantikan juga [dari] anak mudanya," kata Lukas saat diwawancarai.
Penyebab kurangnya minat bekerja di bidang pertanian antara lain, dipandang sebagai pekerjaan rendahan, dan tidak menjamin kehidupan yang layak. Di tambah lagi, petani punya risiko kerugian keuangan akibat gagal panen yang berhubungan dengan perubahan iklim, jelas Lukas.
Oleh karena itu, penting untuk membangun desa sebagai tempat tinggal sekaligus mencari sumber pendapatan. Akan tetapi, pembangunan desa harus memperhatikan keadilan spasial.
"Pembangunan perdesaan harus mengatasi bias lokasional yang merugikan kelompok tertentu dengan mempertimbangkan dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan," terang Sampean, dari Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor dalam kolom Kompas.id.
Sampean mencatat, langkah untuk mewujudkan keadilan spasial harus berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Penegakkan keadilan tidak hanya berdampak pada pendapatan fisik seperti ekonomi, melainkan juga kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat.
"Keadilan spasial di perdesaan mencakup distribusi sumber daya, peluang, dan layanan yang merata di seluruh wilayah fisik," terang Sampean.
Langkah strategi yang bisa dilakukan untuk keadilan spasial di desa adalah dengan membangun berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemetaan potensi, dan peluang ekonomi masyarakat pedesaan.
"Ini berarti memastikan bahwa akses terhadap perumahan, perawatan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan ruang publik tidak hanya terbatas pada pusat perkotaan," lanjutnya.
Jika keadilan antara desa dan perkotaan terwujud, kelak mudik bukan lagi tentang penduduk kota yang berpulang ke desa. Desa yang maju--tanpa merombak menjadi kota yang baru--membuat masalah kependudukan di kota pun lebih tuntas.
Bahkan, kelak bisa saja mudik justru dilakukan oleh banyak warga kota yang merantau dari desa.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR