Sebagai karya sastra, kitab Sastra Candrarini lahir dalam konteks atau tata perkawinan poligini. Artinya, wanita harus setia dan bakti pada suami dan mertua.
"Memang ada perbedaan pandangan seperti contoh dari perspektif feminisme kontemporer,” kata Edwin memberi pandangan.
Konsep poligini tentu saja tidak relevan karena dipandang melukai hak-hak fundamental perempuan serta adanya kecenderungan merugikan dan melecehkan mereka. Selain itu, kelompok feminis berpendapat, ketidaksetaraan gender dalam poligini juga menimbulkan penderitaan. Sebagai contoh, para wanita yang menjadi selir harus mengabdi pada istri utama yang disebut permaisuri.
Mengakhiri kuliah umumnya, Edwin menekankan bahwa perlu adanya pendekatan historis dalam menganalisis karya sastra tradisional seperti Sastra Candrarini ini. Antara lain mengenai interpretasi bahasa, karena dalam menginterpretasikannya harus secara komprehensif dengan melihat dan memahami situasi kondisi dan budaya di masa itu.
Sementara itu, Kepala PR MLTL, Sastri Sunarti, dalam kata penutup mengucapkan terima kasih kepada Profesor Edwin yang telah memberikan pengetahuannya mengenai manuskrip, dan literatur yang ditelitinya, kepada para peneliti BRIN maupun masyarakat umum yang tertarik terhadap sastra tradisional Indonesia di masa lalu.
Sastri berharap banyak orang bisa mendapatkan manfaat dan menambah pengetahuan mengenai manuskrip, literatur, maupun tradisi lisan yang ada di Indonesia.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR