Pajak bukanlah fenomena baru. Faktanya, perpajakan sudah ada sejak ribuan tahun lalu dalam sejarah manusia.
Selama berabad-abad, berbagai pemerintahan di seluruh dunia telah memungut pajak untuk segala hal mulai dari urine hingga janggut. Dikutip dari laman National Geographic, “Para pejabat menerima pembayaran pajak berupa bir, tempat tidur, dan bahkan sapu. Pembayaran ini digunakan untuk mendanai proyek dan layanan pemerintah—mulai dari piramida Giza hingga legiun Roma.
Cara unik membayar pajak dalam sejarah manusia
Perpajakan sudah ada sejak lama, bahkan sudah ada sebelum uang koin. Pajak dapat diterapkan pada hampir semua hal dan dapat dibayar dengan hampir semua hal.
Di Mesopotamia kuno, fleksibilitas ini menyebabkan beberapa cara pembayaran yang agak aneh. “Pajak untuk menguburkan jenazah adalah tujuh tong bir, 420 roti, dua gantang jelai, jubah wol, seekor kambing, dan sebuah tempat tidur,” menurut sejarawan Negara Bagian Oklahoma, Tonia Sharlach.
“Sekitar tahun 2000-1800 SM, ada catatan tentang seorang pria yang membayar dengan 18.880 sapu dan enam batang kayu,” tambah Sharlach.
Akuntansi kreatif atas pembayaran natura juga membantu beberapa orang menipu petugas pajak. “Dalam kasus lain, seorang laki-laki mengaku dia tidak punya harta apa pun kecuali batu giling yang sangat berat. Maka dia menyuruh petugas pajak membawanya sebagai pembayaran pajaknya.”
Persiapan pajak Firaun
Mesir Kuno adalah salah satu peradaban pertama yang memiliki sistem perpajakan terorganisir. Sistem ini dikembangkan sekitar tahun 3000 SM, setelah Mesir Hilir dan Mesir Hulu disatukan oleh Narmer, firaun pertama.
Para penguasa awal Mesir kuno menaruh perhatian besar pada pajak. Mereka akan berkeliling negeri dengan rombongan untuk menilai harta milik rakyat. Misalnya minyak, bir, keramik, ternak, dan hasil panen. Penguasa kemudian memungut pajak atas barang-barang tersebut. Acara tahunan ini dikenal sebagai Shemsu Hor atau Pengikut Horus.
Pada masa Kerajaan Lama, pajak menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membangun proyek-proyek sipil yang besar, seperti piramida di Giza.
Sistem perpajakan Mesir Kuno berkembang selama 3.000 tahun sejarahnya dan menjadi semakin canggih seiring berjalannya waktu. Di Kerajaan Baru, pejabat menemukan cara untuk mengenakan pajak kepada masyarakat atas apa yang mereka peroleh bahkan sebelum mereka memperolehnya. Hal ini bisa dilakukan berkat sebuah penemuan yang disebut nilometer.
Nilometer digunakan untuk menghitung ketinggian air Sungai Nil selama banjir tahunannya. Pajak akan lebih rendah jika permukaan air terlalu rendah, yang menandakan terjadinya kekeringan dan kematian tanaman. Tingkat air yang sehat berarti panen yang sehat, yang berarti pajak yang lebih tinggi.
Amnesti pajak di India kuno
Di Kekaisaran Maurya di India diadakan kompetisi gagasan tahunan dan pemenangnya menerima amnesti pajak.
“Pemerintah mengumpulkan ide-ide dari warga tentang cara memecahkan masalah-masalah pemerintah,” jelas Sharlach.
“Jika solusi Anda dipilih dan diterapkan, Anda menerima pembebasan pajak seumur hidup Anda.” Penjelajah dan penulis Yunani Megasthenes (sekitar 350-290 SM) memberikan penjelasan yang menakjubkan tentang praktik ini dalam bukunya Indica.
Seperti kebanyakan upaya reformasi perpajakan, sistem ini jauh dari sempurna, kata Sharlach. “Masalahnya adalah tidak seorang pun mempunyai insentif untuk memecahkan lebih dari satu masalah.”
Berikan urine kepada Kaisar
Kaisar Romawi Vespasianus (69-79 M) mungkin tidak terkenal seperti Augustus atau Marcus Aurelius. namun ia membawa stabilitas ke kekaisaran selama masa yang penuh gejolak—salah satunya melalui pajak inovatif atas air kencing masyarakat.
Amonia adalah komoditas berharga di Romawi kuno. Urine bisa membersihkan kotoran dan minyak dari pakaian. Penyamak kulit menggunakannya untuk membuat kulit. Petani menggunakannya sebagai pupuk. Dan orang-orang bahkan menggunakannya untuk memutihkan gigi.
Semua amonia ini berasal dari urine manusia, sebagian besar dikumpulkan dari toilet umum di Roma. Dan seperti semua produk berharga, pemerintah menemukan cara untuk mengenakan pajak atas produk tersebut.
Beberapa orang kaya Romawi, termasuk putra Vespasianus sendiri, Titus, keberatan dengan pajak urine. Menurut sejarawan Suetonius, Titus mengatakan kepada ayahnya bahwa ia menganggap pajak itu menjijikkan. Vespasianus menjawab, “Pecunia non olet,” atau “Uang tidak bau.”
Perincian untuk suku Aztec
Pada puncak kejayaannya pada abad ke-15 dan ke-16, Kekaisaran Aztec kaya dan berkuasa berkat perpajakan. Sejarawan Michael E. Smith mempelajari sistem pemungutan pajak di Aztec. Ia menemukan bahwa sistem ini sangat rumit. Berbagai jenis barang dikumpulkan di berbagai tingkat pemerintahan.
Semua pajak disalurkan ke badan pemerintahan pusat Aztec, Triple Alliance. Di sana mereka menyimpan catatan yang cermat tentang siapa yang mengirim apa. Banyak dari catatan ini bertahan hingga saat ini. Yang paling terkenal ditemukan di Matrícula de Tributos. Daftar bergambar yang berisi piktograf. Daftar itu menunjukkan dengan tepat berapa banyak kulit jaguar, batu mulia, jagung, kakao, bola karet, emas batangan, madu, garam, dan tekstil. Semua itu dikumpulkan pemerintah setiap musim pajak.
Pajak fesyen Rusia
Meluasnya penggunaan koin dan mata uang memiliki dampak yang merata pada sistem perpajakan. Namun para penguasa tidak segan-segan menerapkan upaya perpajakan untuk mencapai tujuan mereka. Pada tahun 1698, reformis Rusia Peter yang Agung berusaha menjadikan Rusia menyerupai negara-negara “modern” di Eropa Barat. Kebersihan di Eropa Barat disamakan dengan modernisasi oleh Peter.
Setelah kembali ke Rusia, Peter memberlakukan pajak janggut pada warganya, yang menyukai janggut.
Pria Rusia mana pun yang ingin menumbuhkan janggut harus membayar pajak. Petani membayar sedikit biaya, sedangkan bangsawan dan pedagang membayar hingga seratus rubel. Pria yang telah membayar pajak juga diharuskan membawa koin khusus ke mana pun mereka pergi. Hal itu untuk membuktikan bahwa mereka telah membayar pajak untuk hak istimewanya.
Pajak janggut yang diterapkan Peter Agung tidak bertahan lama. Catherine yang Agung mencabutnya pada tahun 1772.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR