Nationalgeographic.co.id—Tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan riset mengenai toponimi desa dan dusun di daerah perbatasan antara Kalimantan Barat, Indonesia, dan Sarawak, Malaysia. Salah satu periset yang terlibat adalah Martina, peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK) BRIN.
Dalam Webinar Seri #6 PR BSK pada bulan lalu dengan tema “Mengulik Fenomena Lintas Budaya di Daerah Perbatasan”, Martina mengatakan pergeseran bahasa dan identitas kewilayahan menjadi masalah yang mengarah pada kontestasi dan rivalitas, baik antarsesama orang Indonesia maupun dengan negara tetangga. Hal ini menjadi sangat penting dalam melakukan kajian toponimi untuk mengetahui asal-usul nama suatu tempat, peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi, dan perkembangan nama daerah tersebut.
Martina menambahkan, selain itu, riset di daerah perbatasan penting dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi di daerah tersebut. Hal itu agar dapat menentukan program pembangunan yang tepat guna, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Berkaca dari kejadian sebelumnya, beberapa wilayah Indonesia terlepas dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini disebabkan tidak ada kejelasan nama wilayah itu sendiri. “Kajian ini dinilai semakin urgen dilakukan di daerah perbatasan karena nama-nama unsur geografis di wilayah perbatasan harus memiliki kepastian hukum,” ungkapnya menjelaskan paparan studinya yang berjudul “Toponimi dan Identitas Kewilayahan di Daerah Perbatasan”.
Bersama empat periset lainnya, Martina melakukan penelitian mengenai identitas kewilayahan dan upaya penguatan pada tiga desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Ketiga desa tersebut adalah Desa Jasa, Sungai Kelik, dan Riam Sejawak yang terletak di daerah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak.
Penelitian bertujuan untuk menghasilkan deskripsi toponimi desa dan dusun, kondisi identitas kewilayahan, serta upaya penguatan yang diterapkan di daerah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan melakukan observasi, wawancara, foto dan dokumentasi, serta diskusi kelompok terfokus (FGD). Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang diteliti dan benar-benar beranjak dari pengalaman empirik.
Lebih lanjut, Martina mengungkapkan banyak hal penting yang ditemukan dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian di wilayah perbatasan tersebut ditemukan dua nama suku, yakni Dayak Bugau dan Dayak Mandau. Kedua suku tersebut berkembang dan mendiami kawasan perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak, khususnya yang berada di ketiga desa tersebut.
Toponimi desa dan dusun di daerah perbatasan tersebut menggunakan istilah daerah setempat yang sesuai dengan memori kolektif masyarakat, misalnya mengandung unsur alam, geografis, fauna, budaya, dan sejarah. “Namun, berbanding terbalik dengan fakta yang ada bahwa pengetahuan masyarakat tentang toponimi sangat minim bahkan terbilang sangat rendah,” ujar Martina.
Toponimi topografi di ketiga desa tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu toponimi topografi alam dan toponimi wilayah administratif yang dilatarbelakangi aspek geografis, sosial, dan budaya. Sementara itu, dari sisi linguistik, ketiga desa menggunakan bahasa Dayak Bugau dan bahasa Dayak Mandau yang memberikan makna identitas kewilayahan.
Martina menjelaskan, munculnya penamaan topografi alam dan wilayah administratif di kawasan perbatasan karena tiga aspek. Aspek pertama adalah aspek geografis fisik geomorfologis, flora, dan fauna yang terdapat di wilayah ini.
Kedua adalah aspek budaya terutama terkait dengan folklore atau cerita rakyat, sejarah asal usul, dan bahasa suku Dayak Bugau dan Dayak Mandau. Adapun aspek ketiga adalah aspek sosial yang terkait dengan dinamika hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia.
Baca Juga: Dominasi Bahasa Indonesia di Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Menurutnya, identitas kewilayahan berperan penting dalam memperkuat ikatan sosial penduduk setempat, sehingga mendorong terwujudnya solidaritas, kebanggaan bersama, dan rasa saling keterkaitan yang berdampak dalam konteks sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan. Upaya penguatan identitas kewilayahan di ketiga desa tersebut dilakukan dengan pelibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan penyusunan program-program lokal, pengembangan seni dan budaya lokal, menjaga hukum adat, konservasi dan keberlanjutan lingkungan, serta kerja sama lintas batas.
Berdasarkan hasil penelitian, identitas kewilayahan di sana mengacu pada rasa memiliki dan keterikatan masyarakat di daerah perbatasan pada lokasi geografis tempat mereka bermukim. Identitas kewilayahan di daerah perbatasan sering kali merupakan hasil dari dinamika kompleks antara budaya, politik, ekonomi, dan sosial. Sementara itu kendala utama yang ditemukan dari hasil penelitian di daerah perbatasan antara lain kesenjangan pembangunan, mobilitas penduduk dan migrasi yang tinggi, serta pengaruh globalisasi dan perubahan gaya hidup.
Source | : | Brin.go.id |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR