Nationalgeographic.grid.id—Dalam bab ke-9 The Odyssey, Homer memperkenalkan sebuah suku mistis dan menarik dalam mitologi Yunani. Mereka merupakan para pemakan lotus, atau dalam bahasa Yunani disebut Lotophàgi.
Meskipun bagian cerita ini lebih singkat dibandingkan dengan peristiwa besar lain dalam perjalanan Odysseus, tetap terdapat pesan tersembunyi yang mengkritik masyarakat kuno. Pesan ini bisa berupa peringatan atau kecaman terhadap cara hidup, kebiasaan, atau nilai-nilai tertentu pada zaman itu.
Selain itu, kisah ini dianggap sebagai sebuah misteri yang terus diperdebatkan oleh para peneliti mitologi Yunani hingga saat ini, karena interpretasinya belum disepakati secara penuh. Para peneliti mencoba memahami makna mendalam di balik kisah tersebut.
Odysseus Hilang Setelah Badai
Setelah Odysseus dan pasukannya menjarah persediaan makanan suku Cicones, Zeus menghukum mereka dengan badai dahsyat yang mengacaukan arah armada mereka.
Suku Cicones adalah sebuah suku pejuang yang terletak di wilayah Thrace modern. Dalam Odyssey, wilayah itu adalah perhentian pertama Odysseus dan anak buahnya dalam perjalanan pulang ke Ithaca.
Kisah tersebut menjadi awal mula perjalanan panjang menuju Ithaca yang telah lama dinanti. Perjalanan itu berubah menjadi petualangan terbesar yang pernah diceritakan dan diabadikan dalam syair-syair klasik.
Armada Raja Ithaca terpaksa berlabuh di pulau Djerba, sebelah utara Tunisia, tempat pertemuan fantastis pertama dalam kisah Homer terjadi.
Di tanah asing ini, Odysseus mengutus tiga orang kepercayaannya untuk mencari bantuan dan persediaan yang dibutuhkan untuk perjalanan pulang. Namun, lamanya waktu yang berlalu tanpa kabar membuat Odysseus khawatir.
Odysseus curiga dengan para penduduk pulau karena keberadaan anak buahnya tidak diketahui. Odyssus akhirnya memutuskan untuk mencari jawaban sendiri. Di sinilah ia bertemu dengan suku pemakan lotus.
Baca Juga: Tragedi Oedipus: Konsep Takdir dan Kehendak Bebas dalam Mitologi Yunani
Lotus: Buah yang Membuat Lupa Diri
Para pemakan lotus sama sekali tidak bermusuhan. Namun kekhawatiran Odysseus bukan tanpa alasan. Meskipun mereka tidak diserang, para pria Raja Ithaca "terperangkap" oleh kebiasaan makan penduduk setempat.
Penduduk setempat hidup dalam masyarakat primordial, sebuah struktur yang sangat terkait dengan adat istiadat suku. Mata pencaharian utama mereka, jika bukan satu-satunya, adalah membudidayakan dan mengonsumsi apa yang disebut lotus.
Gastronomi atau kebiasaan makan suatu kelompok orang seringkali menunjukkan bagaimana mereka hidup bersama.
Akan tetapi, sebelum kita bilang cara hidup suku para pemakan lotus yang sederhana karena makanan mereka yang sedikit, kita harus lihat dulu cerita-cerita tua dan sejarah mereka. Mungkin ada alasan lain yang lebih dalam.
“Mereka yang mencicipi buah lotus yang paling manis tidak ingin kembali untuk melapor, melainkan lebih suka tinggal bersama mereka untuk terus menikmati lotus, melupakan asal-usulnya.”
Odyssey, Buku IX
Dari cerita tentang para pemakan lotus, efek buah-buahan ini terhadap individu yang memakannya dapat menyebabkan rasa ketidakpedulian, hilangnya kemauan, dan lupa akan diri sendiri.
Jelas, masyarakat sederhana ini menjadi seperti itu karena mereka makan buah-buahan tersebut. Dengan kata lain, mereka terlalu rakus.
Banyak orang bingung saat mencoba mencari tahu buah apa yang dimaksud dengan 'lotus' dalam cerita itu.
Misalnya, dalam cerita Iliad, Homer menyebut tanaman lotus lain yang mirip dengan semanggi. Orang-orang Troya menggunakan tanaman ini sebagai makanan untuk kuda mereka."
Orang Yunani memberi nama lotòs (λωτός) kepada berbagai jenis buah. Namun, mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan tanaman psikedelik atau narkotika.
Namun, berkat studi arkeologi, sejarah, dan botani, telah dimungkinkan untuk mempersempit bidang penelitian dan mengidentifikasi buah yang dimaksud.
Menurut dokter dan ahli botani Yunani kuno, Pedanius Dioscorides, jenis lotus yang disebut adalah cyrenaic. Tanaman tersebut dinamai menurut wilayah Kekaisaran Romawi Cyrenaica, tumbuh di wilayah Lebanon dan Tunisia saat ini yang kemudian dinamai ziziphus lotus.
Jujube
Buah dari tanaman ini juga diidentifikasi sebagai salah satu spesies jujube. Saat ini ditemukan terutama di daerah Afrika Utara dan Asia.
Jujube yang umum dikonsumsi dalam berbagai masakan tradisional adalah yang diidentifikasi sebagai ziziphus jujuba, sedangkan tanaman Ziziphus lotus mewakili varian liarnya.
Dalam The Histories, karya sejarawan kuno Polybius, disebutkan tentang lotophagus, suku Afrika Utara yang menampilkan jujube dalam diet harian mereka dan metode pengawetan buah mereka.
“Seluruh buah yang hancur saat matang, disimpan dalam pot dan digunakan untuk memberi makan para pelayan, sementara, tanpa biji dan diawetkan dengan cara yang sama, itu adalah makanan bagi orang-orang bebas. Dihaluskan dalam air dan dicincang, digunakan untuk membuat minuman seperti anggur.”
The Histories, Polybius
Mungkin saja sumber utama efek psikotropik Lotus adalah anggur. Anggur ini tidak dihasilkan dari tanaman anggur, tetapi dari tanaman ziziphus lotus, dan buahnya, jujube liar.
Selain itu, buah jujube di pulau Lotus-eaters itu ternyata beracun. Minuman yang dibuat dari buah ini memiliki efek sangat kuat dan bisa bikin orang jadi mabuk atau lupa diri.
Kritik Sosial dalam Karya Homer
Walaupun cerita tentang pulau Lotus hanya sedikit disebutkan dalam syair Homer, sebenarnya Homer ingin menyampaikan pesan yang penting tentang penggunaan obat-obatan.
Di zaman Yunani kuno, penggunaan obat-obatan alami sudah sangat umum. Bukan hanya digunakan dalam upacara keagamaan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita tentang orang-orang yang makan buah lotus ini sebenarnya seperti sebuah berita masa lampau. Homer ingin menunjukkan kepada kita bagaimana obat-obatan bisa memengaruhi hidup manusia.
Sama seperti cerita-cerita Aesop, Homer juga ingin mengajarkan kita sesuatu. Odysseus, tokoh yang bijaksana, menolak untuk terus-terusan makan buah lotus karena dia ingin pulang ke rumah.
Dari cerita ini, kita bisa belajar agar jangan lupakan tujuan hidup kita dan jangan terpengaruh oleh hal-hal buruk di sekitar kita.
Pesan ini masih relevan sampai sekarang. Kita adalah apa yang kita makan. Artinya apa yang kita lakukan dan konsumsi akan membentuk diri kita.
Baca Juga: Wang Cong'er dan Pemberontakan White Lotus di Kekaisaran Tiongkok
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR