Kali ini pun, pemerintah Belanda tidak akan menanggapi tuntutan tersebut. Mereka ingin semua anak dibebaskan terlebih dahulu. Juga akan ada pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 Mei.
Perdana Menteri Den Uyl memutuskan untuk menghentikan kampanye pemilu, namun pemilu akan tetap berjalan seperti biasa. "Beberapa lusin orang tidak boleh mengalihkan kita dari tatanan demokrasi parlementer yang menjadi landasan pemilu." kata Den Uyl.
Ketika ultimatum berakhir, para penyandera meminta keluar gratis dengan pesawat dari Schiphol, bersama dengan 21 tahanan, lima penyandera dan lima guru. Pemerintah Belanda juga tidak menanggapi ultimatum tersebut.
Ketika anak-anak di sekolah tersebut jatuh sakit, para penyandera melepaskan anak-anak tersebut dan menahan kelima guru tersebut.
Pada tanggal 11 Juni 1977, ketika pembajakan berlangsung hampir tiga minggu, Marinir melepaskan tembakan ke kereta, dibantu oleh enam pesawat tempur bintang.
Operasi tersebut menewaskan dua sandera dan enam pembajak. Pelancong yang tersisa dibebaskan. Para penyandera di sekolah dasar secara sukarela menyerah setelah sekolah tersebut diserang dengan mobil lapis baja.
Pada 13 Maret 1978, tiga warga Maluku Selatan menyerbu gedung pemerintahan provinsi di Assen. Mereka menyandera 16 wanita dan 55 pria. Para penyandera menuntut pembebasan 21 tahanan asal Maluku Selatan dan keluar bebas dengan pesawat.
Satu jam setelah penyanderaan, korban pertama jatuh, yang penuh peluru di depan jendela. Seorang fotografer dan ambulans juga ditembak. Alhasil, tak lama setelah ultimatum, marinir dikerahkan untuk menyerbu gedung tersebut.
Setelah baku tembak, para penyandera menyerah. Dalam baku tembak itu, seorang anggota CDA terluka dan meninggal karena luka-lukanya. Para penyandera semuanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Penyanderaan ini menempatkan masyarakat Maluku dalam posisi yang semakin buruk. Banyak anak muda Maluku yang sedang belajar dan menggunakan transportasi umum, mendapat diskriminasi.
Ya, setelah pembajakan kereta api, mereka mendapat diskriminasi yang sangat besar. Kadang-kadang para penumpang Belanda bahkan sampai mengeluarkan orang Indonesia dan orang Maluku dari kereta api.
Kini, 30 tahun kemudian, masyarakat Maluku dipandang sebagai contoh integrasi yang dapat dicontoh. Banyak perkawinan yang diakhiri dengan orang Belanda dan mereka hidup bersama dengan penduduk Belanda.
Sampai yang menjadi tren belakangan, federasi sepak bola PSSI masih gencar untuk memulangkan kembali para pemain berdarah Indonesia dari Belanda. Terbaru, Kevin Diks menjadi naturalisasi yang miliki marga Ambon, Bakarbessy.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR