Nationalgeographic.co.id—Ketika mendengar “Jakarta”, apa yang ada dipikiran kita? Gedung-gedung pencakar langit? Kemacetan yang tidak kunjung usai? Atau kota yang tidak pernah sepi? Semuai itu tidak salah. Namun, boleh jadi kita hanya melihat dari satu sisi.
Jakarta memiliki wilayah pesisir di bagian utaranya. Kota ini berpenduduk lebih dari sebelas juta jiwa yang menjadikan pesisirnya sebagai salah satu pemukiman padat. Permasalahan di pesisir seringkali hanya berfokus pada masalah iklim dan lingkungan. Padahal, ada masalah krusial lainnya yang nyaris tak terungkap yakni sisi kehidupan kemanusiaan.
JILF x JakTent menggelar diskusi tentang film pendek, “Why Do Child Marriage Persist on Jakarta’s Coast?” dalam acara di Taman Ismail Marzuki pada akhir November silam. Perhelatan ini mengajak peserta untuk berdiskusi mengenai masalah pernikahan anak di pesisir utara Jakarta. Narasumbernya: Lusia Arumingtyas selaku Jurnalis Mongabay Indonesia, Maria Soumokil selaku Direktur Ipas Indonesia, dan Rizky Maulana Yanuar sebagai sutradara film “Why Do Child Marriage Persist on Jakarta’s Coast”.
"Mungkin setelah menonton film ini teman-teman akan berpikir 'Oh Jakarta kayak gitu ya'," kata Lusia. "Untuk banyak orang mungkin gak akan tau kalau Jakarta itu sesuram itu, apalagi di wilayah pesisir."
Salah satu penyebab terjadinya permasalahan ini tentu saja karena faktor ekonomi. Beban ekonomi dan beban sosial yang ditanggung setiap keluarga telah mendorong para orang tua untuk mengabaikan anak-anaknya.
Anak-anak yang diabaikan ini akan memilih untuk keluar dari sekolah. Mereka adalah anak nelayan yang merasa bahwa orang tuanya tidak membutuhkan sekolah untuk mendapatkan uang. Krisis ekonomi di wilayah pesisir ini menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai korban.
“Berapa bulan setelah lulus SD, tiba-tiba saya disuruh menikah. Mama saya nyuruh ‘udah nikah aja’ gitu,” ucap Siti, salah satu tokoh dalam film itu.
Film pendek ini menampilkan dua perempuan muda bernama Siti dan Azizah yang tinggal di Cilincing, Jakarta Utara. Keduanya sudah menikah pada usia dini dengan lelaki setempat. Ibunda dari kedua anak itu mengatakan bahwa mereka menikah muda supaya tidak menjadi beban bagi dirinya.
Siti menikah muda karena dorongan orang tuanya, sedangkan adiknya, Azizah, menikah pada usia 17 tahun karena pilihannya sendiri. Azizah berpikir bahwa menikah muda terlihat menyenangkan sekaligus meringankan beban orang tuanya. Namun, belakangan ia menyadari bahwa menikah dini bukanlah solusi tetapi justru masalah baru dalam kehidupannya.
Mengentaskan kemiskinan melalui pernikahan? Pada kenyataanya, pernikahan dini justru memperparah kondisi ekonomi keluarga. Apalagi pasangan muda yang belum siap secara mental dan finansial untuk membanguun rumah tangga.
Baca Juga: Tanah Jakarta Turun Empat Meter dalam 40 Tahun, Apa Penyebabnya?
“Dinikahkan di usia muda ini menjadi sesuatu yang bisa dibilang generational trauma,” tutur Rizky. Ia menambahkan pernikahan anak seolah telah menjadi coping mechanism—atau mekanisme penanggulangan—bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir Jakarta dalam menghadapi kesulitan ekonomi. Situasi ini semacam upaya yang dilakukan ketika seseorang berada dalam situasi sulit, dalam hal ini tekanan ekonomi. Menganggap pernikahan dini sebagai solusi sementara dari masalah mereka.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR