Ik wil klapper, klappermelk met suiker
Want iets anders wil ik niet
Ze wil geen appelsap of limonade
Thee en koffie laat zij staan
En chocolademelk of orangeade
Smaken haar als levertraan
— Klappermelk met Suiker
Nationalgeographic.co.id—Pada 1956 Rudi Wairata en zijn Amboina Serenaders merilis lagu yang berjudul Klappermelk met Suiker dan Soerabaja di bawah label internasional Radio Corporation of America. Pencipta kedua singgel itu adalah Pierre Wijnnobel (1916-2010) yang dikenal sebagai komponis, penulis lirik, dan musisi asal Leiden. Penyanyinya, Joyce Aubrey dan Ming Luhulima—yang bernama beken Lou Lima.
Boleh dikata, lagu-lagu yang rilis di bawah label RCA memiliki peluang pencapaian penjualan dan distribusi luas pada masanya. Benar saja, lagu Klappermelk met Suiker begitu populer bagi pencinta musik di Belanda. Pun, selama lima minggu berturut-turut, lagu ini berada di posisi kesembilan dalam tangga lagu Belanda.
Apabila kita mencermati liriknya, lagu ini memiliki latar sejarah menarik berkait budaya Indonesia dan Belanda. Selain itu lagu ini juga unik karena dibawakan dalam iringan musik bergaya Hawaiian yang dipadukan dengan elemen tradisional Maluku. Perpaduan unik inilah yang kian menarik perhatian publik Belanda.
"Amboina Serenaders memiliki lagu terlaris berjudul Ik wil klappermelk met suiker," tulis Rein Spoorman dalam "Tradition and Creative Inspiration: Musical Encounters of the Moluccan Communities in the Netherlands". Kajiannya terbit dalam buku Recollecting Resonances: Indonesian-Dutch Musical Encounters, yang disunting oleh Bart Barendregt dan Els Bogaerts.
Menurutnya, studi etnomusikologi berupaya untuk mengungkap betapa penting musik dalam mempertahankan identitas kelompok minoritas yang tinggal di lingkungan perkotaan. Spoorman dikenal sebagai seorang etnomusikolog dan peneliti independen asal Belanda. Dia mengkhususkan diri dalam kajian musik diaspora Indonesia, khususnya komunitas Maluku di Belanda.
"Musik adalah medium utama untuk melestarikan identitas budaya di dalam diaspora," ungkapnya. "Ia membawa kenangan masa lalu dan menciptakan makna baru di tempat yang baru."
KNIL dan sejarah musik diaspora di Belanda
Setelah penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar, timbul keresahan atas ketidakpastian status bagi personel Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). Tentara Kerajaan Hindia Belanda itu secara resmi dibubarkan pada 26 Juli 1950.
Baca Juga: Lagu-Lagu yang Mengubah Dunia: Saat Musik Membentuk Sejarah Manusia
Ketegangan politik dan konflik dengan pemerintah Indonesia membuat mereka tidak memiliki pilihan selain pindah. Lebih dari 12.500 eks-KNIL asal Maluku, berikut dengan keluarganya, terpaksa pindah ke Belanda pada 1951.
Dalam album Goodbye to You, Nona Manis yang dirilis pada Oktober 1957, The Amboina Serenaders melantunkan lagu berjudul Kami Berlayar. Lirik lagunya tampaknya mengingatkan kita pada situasi kepindahan yang terpaksa ke Belanda.
Kami berlayar langgar lautan
Tinggalkan ibuku, bapak dan saudara
Siang dan malam hatiku bimbang
Memang tak gampang hidup manusia
Beta tra sangka hidupku begini e
Di dalam dunia yang sepanjang lebar ini e
Hatiku rindu ke sanak sodara
Yang ada di tanah tumpah darah
Sampai di negeri tujuan, mereka ditempatkan di kamp-kamp khusus yang terpisah dari masyarakat Belanda—baik secara sosial maupun geografis. Sebagian menghuni kamp-kamp bekas konsentrasi Nazi, sebagian menghuni barak-barak tua di pingggiran Belanda. Mereka pun mengalami dan merasakan trauma sosial, keterasingan, dan marginalisasi selama beberapa dekade.
"Para tentara Maluku dan keluarga mereka ditempatkan di kamp-kamp, kebanyakan di daerah pedesaan dan dekat kota-kota kecil, dengan anggapan bahwa keberadaan mereka bersifat sementara. Namun, mereka tak pernah kembali ke tanah air," tulis Spoorman.
Karena hidup dalam keterpisahan fisik dengan masyarakat Belanda lainnya, Spoorman menambahkan, komunitas Maluku di Belanda selama bertahun-tahun memelihara kedekatan terhadap budaya mereka sendiri. Ketika dalam kamp itulah musik—baik paduan suara gereja maupun musik sekuler—berkembang sebagai alat ekspresi tentang kenangan, kerinduan kampung halaman, sekaligus dan pelestarian identitas.
Kita bisa menjumpai salah satu contohnya, lirik lagu The Amboina Serenaders yang berjudul "Binta Ingin Mau Poelang" dalam album Amboina yang dirilis pada 1956. Tampaknya, lagu ini mewakili ekspresi hati para diaspora yang merawan dan merindu untuk pulang ke kampung halaman di Ambon:
Baca Juga: Aristoxenus, Filsup Yunani Kuno dan Ahli Musik Pertama di Dunia Barat
Beta ingin mau pulang ke Amboina e
Pulang ke kampung ku di Maluku
Beta ingin mau pulang ke Amboina e
Di tengah lautan, lautan tedu
Di mana pohon sagu
Melambai lambai
Kami berlajar
Memakai arumbai
Beta ingin mau pulang ke Amboina e
Pulang ke kampung ku di Maluku
Di mana pohon sagu
Melambai lambai
Kami berlajar
Memakai arumbai
Beta ingin mau pulang ke Amboina e
Pulang ke kampung ku di Maluku
Musik gaya Hawaiian ini populer hingga akhir 1950-an. Spoorman mengungkapkan bahwa sejatinya musik gaya Hawaiian sudah mulai dipentaskan di Belanda pada awal 1950-an sebelum gelombang kedatangan diaspora KNIL yang lebih besar. Dia menyebut, "Pelaut Mingus (Johnny) Pelasula dan bandnya Suara Timur telah membawa musik Hawaiian. Pada 1952, Honimoa Singers dari Kamp Lunetten tampil di seluruh penjuru negeri."
Kedua kelompok musik itu dikenang sebagai para pemusik perintis yang memadukan musik gaya Hawaiian dan elemen budaya Maluku di Belanda. Boleh dikata, Honimoa Singers adalah salah satu contoh bagaimana komunitas Maluku menjaga identitas budaya mereka sambil beradaptasi dengan kehidupan di negara baru.
Perintis musik Maluku di Negeri Belanda
Siapa yang pertama kali memopulerkan musik bergaya Hawaiian di dunia? Solomon Hoʻopiʻi Kaʻaiʻai atau beken dengan nama Sol Hoopi (1902-1953). Lelaki asal Honolulu itu menjadi salah satu pemusik yang pertama kali memperkenalkan musik gaya Hawaiian melalui gitar steel.
George de Fretes (1921-1981), pemusik Maluku kelahiran Bandung, terinspirasi Sol Hoopi dalam permainan gitar steel untuk musik Hawaiian. Pun, De Fretes sohor sebagai salah satu pemusik pelopor yang memopulerkan gaya Hawaiian di Belanda. Ayahnya, bernama Anton Balthasar de Fretes, adalah seorang KNIL yang bertugas di Bandung. Kemudian, keluarganya pindah ke Batavia pada 1925 hingga 1936.
Sekitar dua dekade silam, saya menjumpai bekas rumah perwira KNIL di Jalan "Tuin Du Bus" yang berlokasi di belakang kompleks Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Nama penghuni rumah itu masih tertera di dinding berandanya "De Fretes". Apakah rumah ini dahulu dihuni oleh orang tua George de Fretes?
Dia memang piawai dalam bermusik. Setidaknya, ia dan kelompok musiknya pernah menjuarai sebuah kompetisi musik di Surabaya pada 1938. Kelompok musiknya yang berjenama The Royal Hawaiian Quintet berganti nama Royal Hawaiian Minstrels, yang kabarnya memiliki bayarannya paling tinggi seantero Hindia Belanda. Setelah pindah ke Belanda pada 1958, ia menggelar debut pertamanya di Belanda pada September tahun yang sama.
Di Belanda, De Fretes juga membentuk kembali Royal Hawaiian Minstrels dan Suara Istana yang memperkenalkan musik keroncong untuk masyarakat di sana. Kedua kelompok musik itu bertahan sampai akhir 1960-an.
"De Fretes bukan satu-satunya orang Maluku yang meraih ketenaran dalam musik Hawaiian," tulis Spoorman. "Mantan muridnya, Rudi Wairata—yang telah lebih dahulu tiba di Belanda—meraih kesuksesan dengan bandnya, Mena Moeria Minstrels." Dia menambahkan, ketika Mena Moeria Minstrels mulai membawakan lagu-lagu keroncong atau lagu-lagu Maluku, kelompok musik itu tampil dengan nama Amboina Serenaders.
Di balik Amboina Serenaders
Kendati bukan kelompok musik diaspora Maluku yang pertama di Belanda, Amboina Serenaders telah memperkenalkan musik bergaya Hawaiian dan keroncong khas Indonesia di sana. Warga begitu mengenal kelompok ini dari alunan gitar dan ukulele gaya Hawaii, yang kadang diberi sentuhan Latin dan swing.
Pendirinya adalah Rudy Wairata bersama Joyce Aubrey. Album perdana mereka bertajuk Rudi Wairata En Zijn Amboina Serenaders rilis pada 1955. Seperti George de Fretes yang menjadi gurunya, Wairata juga turut memengaruhi perkembangan musik gaya Hawaiian di Belanda. Bahkan, sosoknya telah menginspirasi para musisi Belanda yang menekuni gaya musik ini.
Rudi Wairata bernama sejati Diederich Gijsbert Christo Wairata (1929-1981). Pada 1951, lelaki kelahiran Ternate ini pindah dari Indonesia ke Belanda atas beasiswa Koninklijk Conservatorium Den Haag. Kemudian Rudi membentuk bandnya sendiri, Mena Moeria Minstrels. Joyce Aubrey adalah mantan istri George de Fretes—mereka pisah ranjang pada 1952—yang memulai kariernya sebagai penyayi utama ketika bergabung di grup musik ini. Suara lembut Joyce saat menyanyikan lagu-lagu asal Maluku turut melambungkan imaji para diaspora atas kenangan Hindia Belanda.
Berikutnya, Wairata membentuk band baru dengan nama Rudi Wairata & The Hawaiian Minstrels dan Rudi Wairata & The Serenaders, lalu mengganti nama band ini menjadi Amboina Serenaders. Namun, pada 1957 dia meninggalkan The Amboina Serenaders, posisinya digantikan oleh Ming Luhulima. Pun, pada 1958 Joyce meninggalkan grup ini dan pindah ke Royal Hawaiian Minstrels, grup musik yang didirikan oleh mantan suaminya.
Ming Luhulima, yang bernama sejati Dominggus Luhulima, melanjutkan karakter musik Maluku dalam Amboina Serenaders. Selain menyanyikan lagu-lagu asal Nusantara, ia juga menulis lirik-lirik lagu bernuansa kenangan. Luhulima merupakan diaspora keluarga KNIL yang datang ke Belanda pada awal 1950-an. Sosoknya menjadi bagian komunitas musisi diaspora Maluku di Belanda, dan salah satu tokoh perintis musik gaya Hawaiian yang berpadu dengan musik Maluku.
Sederet album karya mereka: Amboina (1956), Goodbye to You, Nona Manis (Dureco, 1957), dan The Amboina Serenaders onder leiding van Ming Luhulima (Dureco, 1967). Sepanjang 1955 sampai 1962, mereka juga merilis beberapa singgel dalam naungan jenama The Amboina Serenaders o.l.v. Rudi Wairata (1955); Rudi Wairata En Zijn Amboina (1955-1956); Rudi Wairata And His Amboina Serenaders (1956); dan The Amboina Serenaders (1962).
Romantisasi dan hibriditas budaya
"Kasus Amboina Serenaders menyingkap kompleksitas yang lebih gelap," kata Citra Aryandari, etnomusikolog di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. "Musik sebagai arena pertarungan narasi budaya, klaim otentisitas, dan relasi kuasa kolonial yang belum sepenuhnya sirna." Dia mengungkapkan kepada National Geographic Indonesia bahwa dalam wacana diaspora dan pascakolonial, musik seringkali diromantisasi sebagai sarana pemersatu identitas yang utuh.
Dia melihat bagaimana dinamika identitas dalam konteks pascakolonial justru memperkuat hierarki budaya antara diaspora dan komunitas lokal. Buktinya, ketika Belanda masih berusaha mempertahankan pengaruh melalui grup musik seperti Amboina Serenaders, Maluku justru menghadapi krisis identitas sebagai bagian dari Indonesia yang baru merdeka.
"Amboina Serenaders mengajak untuk melihat dua realitas secara setara," ujarnya. "Musik diaspora sebagai ekspresi trauma dan adaptasi, serta musik lokal sebagai ruang resistensi dan inovasi otonom."
Amboina Serenaders lahir dari trauma diaspora sehingga mereka dan pemusik dari komunitas diaspora menggunakan musik sebagai alat adaptasi dan perlawanan simbolik. "Namun, klaim bahwa grup ini merepresentasikan 'budaya Maluku' patut dipertanyakan," ungkapnya. "Formasi mereka, yang mengadopsi kroncong dan lagu-lagu populer Indonesia dengan sentuhan orkestrasi Barat, lebih mencerminkan hibriditas budaya yang dipaksakan oleh kondisi postkolonial Belanda."
Makna "hibriditas" dalam konteks pemikiran pascakolonialisme merujuk pada tidak murninya identitas budaya pascakolonial, yakni adanya negosiasi tentang makna dan identitas yang menghasilkan percampuran antara budaya penjajah dan yang dijajah.
Menurut Citra, Amboina Serenaders telah menciptakan musik dengan lirik-lirik yang terjebak dalam paradoks. Di satu sisi mereka merindukan Maluku, imbuhnya, namun di sisi lain estetika mereka disesuaikan dengan selera audiens Belanda.
Wacana musik sebagai sejarah bersama
Musik menjadi bagian ekspresi budaya dan identitas dari latar si penggubahnya. Di Belanda, karya musik dari diaspora orang-orang Maluku menjadi bentuk ekspresi identitas diaspora yang tercerabut dari tanah air. Sampai hari ini musik mereka telah menjadi bagian dari sejarah budaya bersama Indonesia–Belanda.
"Ironisnya, justru genre-genre musik inilah yang seringkali dihina karena asal-usulnya yang hibrida," tulis Bart Barendregt dan Els Bogaerts, "dan aroma keterasingannya menjadi lambang dari kerinduan atau metafora akan surga tropis yang hilang." Kajian yang ditulis Bart dan Els itu berjudul "Recollecting Resonances: Listening to an Indonesian–Dutch Musical Heritage" yang menjadi bab pertama dalam buku Recollecting Resonances: Indonesian-Dutch Musical Encounters.
Bart Barendregt adalah seorang antropolog yang mengajar di Institute of Social and Cultural Studies, Universitas Leiden, di Belanda. Els Bogaerts adalah seorang peneliti tamu di Universitas Leiden yang mengkaji dekolonisasi, budaya, dan seni pertunjukan.
"Melalui musik, perbedaan telah digubah, dipentaskan, dan diwujudkan," tulis mereka. "[...] Musik dapat menjadi cara untuk mengungkapkan identitas kolektif; ia menandai 'kita' versus 'mereka'. Namun, dalam keadaan tertentu, ia juga dapat berkontribusi terhadap integrasi sosial budaya dan rekonsiliasi."
Sementara itu Spoorman mengungkapkan bahwa identitas budaya bisa menjadi bagian sejarah kolektif. "Jika ada satu hal yang dapat dipelajari dari perkembangan musik Maluku," tulisnya, "maka hal itu adalah identitas budaya—yang dipahami sebagai sejarah bersama kolektif dari individu-individu yang terafiliasi berdasarkan ras atau etnis—memiliki banyak wajah dan terus mengalami transformasi."
Spoorman menyebut Amboina Serenaders sebagai bagian adaptasi musik Maluku di kehidupan diaspora. "Selama bertahun-tahun repertoar musik Maluku telah diadaptasi, dimodernisasi, diarus-baratkan, dan kembali dicampur dengan tradisi-tradisi 'Timur' yang lain," tulisnya dalam Recollecting Resonances: Indonesian-Dutch Musical Encounters.
"Tetapi," kata Citra, "apakah adaptasi ini tidak justru mengkomodifikasi budaya Maluku untuk memenuhi ekspektasi eksotis masyarakat kolonial?" Dia menganggap bahwa apa yang dilakukan Amboina Serenaders bukan adaptasi budaya melainkan mimikri budaya, yakni peniruan budaya yang sekaligus mengganggu dan mengukuhkan dominasi kolonial. Padahal, dekade 1950-an sampai 1960-an, merupakan zaman keemasan musik tradisional—tifa dan tahuri—dan kroncong yang berkembang secara organik di Maluku, ungkapnya.
Citra mempertanyakan, mengapa narasi pengaruh diaspora begitu kuat dalam Amboina Serenaders? Dia meyakini bahwa jawabannya terletak pada relasi kuasa pengetahuan. Belanda dan diaspora Maluku di sana memiliki kemudahan akses ke infrastruktur rekaman, media, dan akademisi. Sebaliknya, suara komunitas lokal Maluku terpinggirkan, dianggap sebagai 'primitif' atau 'tidak modern'.
"Pertanyaan kritisnya bukan lagi seberapa besar pengaruh Amboina Serenaders, melainkan bagaimana kekuasaan kolonial membentuk akses dalam mendengar suara yang mana?" kata Citra. "Dengan mendekonstruksi hierarki budaya ini, dapat membuka ruang bagi polifoni identitas Maluku—baik di Belanda maupun di Tanah Air—tanpa terjebak dalam nostalgia yang timpang."
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR