Nationalgeographic.co.id - Beberapa waktu yang lalu, sebuah selfie (swafoto) yang menunjukkan sekelompok perempuan berpose di depan lokasi bencana tsunami yang terjadi di pesisir Selat Sunda menjadi viral di media sosial.
Foto yang beredar di media sosial tersebut menimbulkan perdebatan apakah pantas mengambil selfie di daerah bencana. Beberapa pakar media sosial mengatakan sikap ini dapat diterima, dengan mengatakan bahwa praktik seperti itu normal di era media sosial. Namun saya tidak setuju. Mengambil selfie di lokasi bencana adalah perilaku yang tidak dapat dibenarkan karena di samping membahayakan, perilaku tersebut menunjukkan gangguan mental.
Anehnya, fenomena mengambil selfie di lokasi bencana begitu merajalela di Indonesia. Sekelompok orang berpose di depan bangkai pesawat yang jatuh di Medan, Sumatra Utara pada Juli 2015.
Kemudian, ketika segerombolan orang mengunjungi lokasi penyerangan teroris di Kampung Melayu, Jakarta Timur pada pertengahan 2017, mereka lalu mengambil telepon seluler (ponsel) mereka dan memotret tempat kejadian perkara.
Tidak hanya di Indonesia, fenomena selfie semacam itu ternyata populer dan juga kontroversial di negara lain. Seorang konsultan kesehatan diprotes karena menggunakan tongkat selfie saat mengambil foto dengan teman-temannya di sebuah pantai di Tunisia, di mana 38 orang terbunuh oleh seorang penembak yang diduga memiliki hubungan dengan IS.
Di Nepal, sekelompok orang diberitakan mengambil selfie di depan reruntuhan Menara Dhahara yang rusak karena gempa tahun 2015.
Mengambil selfie setelah bencana yang mengerikan telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan kita sehari-hari. Praktik tersebut sama saja dengan perilaku orang yang bergerombol untuk menonton kecelakaan di jalanan.
Ahli media Yasmin Ibrahim dari Queen Mary University di Inggris menulis sebuah artikel yang menarik terkait topik ini. Dia menyebut fenomena ini sebagai “selfie bencana” atau “pornografi bencana” dan mendefinisikannya sebagai “perilaku ganjil yang dimotivasi oleh keinginan mencapai kepuasan diri sendiri, dengan situasi pasca bencana sebagai latar belakang”.
Seorang psikoanalis terkemuka, Carl Jung, berpendapat bahwa secara alamiah, manusia senang melihat orang lain menderita, karena hal tersebut menghibur diri kita, namun kita tidak secara langsung terkena dampaknya. Dengan melihat penderitaan orang lain, kita diberi kesempatan untuk menghakimi dan menertawakan orang lain, sementara kita terbebaskan dari merasakan penderitaan. Carl Jung menciptakan sebuah istilah yang dikenal sebagai corpse preoccupation untuk merujuk pada keinginan seseorang untuk menyaksikan hal-hal yang aneh dan mengerikan.
Jung percaya bahwa di dalam setiap manusia, ada yang disebut sebagai bayangan (shadow) yang mewakili sisi manusia yang paling gelap. Dia berpendapat bahwa semakin kita menekan bayangan tersebut, semakin kuat bayangan tersebut dalam mempengaruhi perilaku kita. Itulah sebabnya sulit bagi kita untuk menghindari godaan untuk tidak melihat penderitaan orang lain. Melihat kesengsaraan orang lain menjadi sulit untuk ditolak, karena tindakan tersebut memenuhi kepuasan diri untuk membiarkan si bayangan berkuasa, tanpa kita perlu melakukan kejahatan apa pun.
Saat kita melihat kesengsaraan orang lain, seorang filsuf terkenal dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Frankie Budi Hardiman mengatakan bahwa tindakan tersebut juga mengindikasikan bahwa kita sedang mencari informasi. Tindakan ini didorong oleh “keinginan tak penting untuk tahu” dan keinginan tersebut bersifat asing, menghakimi, egosentris dan eksploitatif. Seorang pelaku menggunakan korban sebagai objek yang menghibur untuk memenuhi keinginan mereka. Dalam kasus ini, melihat artinya tidak melakukan apa-apa atau bahkan sebuah tanda penolakan untuk turun campur. Tindakan ini dilakukan bukan untuk menolong ataupun memahami korban.
Sebenarnya menakutkan ketika kita menyadari bahwa kebiasaan melihat penderitaan orang lain begitu mengakar di masyarakat kita. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kesedihan orang lain dianggap sebagai komoditas yang menghibur. Praktik melihat penderitaan orang lain tanpa melakukan apa-apa pada akhirnya akan menjadi parah ketika kemudian orang-orang yang melihat itu mengambil selfie untuk mendokumentasikan kesengsaraan orang lain dan mendistribusikannya di media sosial.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR