Nationalgeographic.co.id - Siapa yang tidak tahu pempek? Rasanya hampir semua orang tahu makanan khas Palembang dengan kandungan tepung terigu dan ikan ini. Tidak harus pergi ke Palembang jika ingin mencicipinya, saking populernya, pempek dapat ditemui di banyak tempat di luar Palembang.
Selain rasanya yang enak, asal-usul penamaan makanan dengan nama awal kelesan ini ternyata menarik untuk disimak.
"Pada masa Kesultanan Palembang, pempek disebut kelesan. Kelesan adalah panganan adat di dalam Rumah Limas yang mengandung sifat dan kegunaan tertentu. Dinamakan kelesan juga karena makanan ini dikeles atau tahan disimpan lama," ucap pemerhati sejarah Palembang, KMS H Andi Syarifuddin, dilansir dari KompasTravel pada Rabu (13/2/2019).
Baca Juga : Dipanagara, Lelaki Ningrat yang Gemar Blusukan
Menurut Andi, pempek dijual secara komersial saat zaman kolonial. Warga Tionghoa pun menjadi salah satu penjual pempek yang didapat dari masyarakat Palembang. Saat itu, orang Tionghoa terkenal sebagai ahli dagang.
Tercatat pada tahun 1916, pempek mulai dijajakan dengan penjual yang berjalan kaki dari kampung ke kampung, khususnya di kawasan keraton (Masjid Agung dan Masjid Lama Palembang).
Lantas dari mana nama pempek berasal, jika nama aslinya asalah kelesan? Uniknya, nama pempek berasal dari sebutan pembeli kepada penjual kelesan.
"Empek adalah sebutan bagi orang Tionghoa yang menjajakan kelesan. Para pembeli yang biasa membeli kelesan, dan rata-rata anak muda. sering memanggil penjual kelesan dengan kalimat, 'Pek, empek, mampir sini!'," ungkap Andi.
Dari sebutan inilah akhirnya panggilan pempek lebih populer dari kelesan. Nama pempek bahkan bertahan hingga saat ini.
Sejarah pempek ini, menurut Andi, tercatat dalam buku berjudul "Sejarah dan Kebudayaan Palembang: Rumah Adat Limas Palembang", yang ditulis oleh M. Akib, RHM.
Baca Juga : Mempelai Wanita Minta Cerai Setelah 3 Menit Menikah, Apakah Hubungan Seperti Ini Berdampak pada Kesehatan?
Source | : | Kompas Travel |
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR