Pertemuan Shadrack Nyongesa dengan pisau sunat dijadwalkan tidak lama setelah fajar.
Sejak kemarin pagi, anak berusia 14 tahun dari suku Bukusu di Kenya bagian barat yang belum disunat itu sibuk memukulkan lonceng sapi berhias bulu ke gelang logam di pergelangan tangannya. Sementara dia mengguncang lengan dan menari di bawah pohon mangga di depan rumah ayahnya, kerabat dan teman yang lebih tua mengelilinginya sambil mengacungkan tongkat, sembari menyanyikan lagu tentang keberanian, perempuan, dan minuman.
Sore harinya, Shadrack beserta rombongannya melakukan kunjungan ritual ke rumah saudara laki-laki ibunya, yang memberinya seekor sapi. Tetapi, sang paman menamparnya dan mengejek bahwa dia mirip banci, belum siap menjadi lelaki sejati. Sang buyung, yang ingin melakukan sikhebo, upacara khitanan Bukusu, tidak bisa membendung air mata.
Namun, wajahnya lebih terlihat marah ketimbang takut, dan ketika dia kembali ke rumah ayahnya, dia mendentangkan lonceng chinyimba dengan gairah baru dan menari dengan penuh semangat.
Saat malam, tamu yang datang sudah lebih dari 50 orang. Kaum lelaki mencelupkan sedotan panjang ke kendi busaa, tuak jagung khusus untuk acara ini. Pada setengah sepuluh malam, hadirin berkumpul di sekeliling perut sapi berwarna putih kebiruan yang baru disembelih. Salah satu paman Shadrack dari pihak ayahnya membelek kantong perut itu dengan pisau. Dia menyayat dua kerat jaringan, lalu meraup segenggam makanan setengah dicerna berwarna kehijauan. Dia mendekati keponakannya.
“Keluarga kita tidak mengenal takut!” teriaknya. “Sikap sempurna!” Lampu senter menyorot wajah Shadrack yang menatap ke depan dengan tegar. Lalu sang paman melemparkan tahi muda itu ke dada keponakannya dan dengan bersemangat melumurkannya ke muka dan kepala anak itu. Dia mengalungkan sayatan perut sapi ke leher Shadrack dan menempeleng kedua pipinya dengan keras.
“Kalau kamu mengkeret atau menjerit, enyah dari sini,” kata pamannya. “Seberangi sungai, dan pergi jauh-jauh. Kamu kini prajurit. Biarpun ada yang mencolok matamu, jangan berkedip!”
Sekarang sang omusinde—anak yang belum disunat—tidak bisa mengundurkan diri dari upacara ini.
Selama berjam-jam malam itu, Shadrack menari di tengah khuminya, pesta khitanan yang menyajikan tuak busaa berlimpah. Sesepuh memberi wejangan tentang makna menjadi lelaki, mengajarkan tuntunan moral, menjelaskan pentingnya menghormati orang tua dan perempuan, dan memberi saran praktis termasuk menjauhi perempuan yang telah bersuami. Dia diberi tepung, ayam, dan sedikit uang. Kejantanannya ditantang, tekadnya dipertanyakan. Pada tengah malam, akhirnya dia diperbolehkan beristirahat. Dia bangun pukul dua dini hari. Satu jam kemudian dia kembali mendentangkan lonceng chinyimba dan menari. Teman dan kerabat—sebagian jelas masih mabuk akibat bir buatan sendiri—menyanyi lantang, “Matahari hampir terbit! Bau pisaunya sudah tercium! Fajar hampir menyingsing!”
Saat berdiri menunggu matahari terbit di Great Rift Valley dan puncak upacara akil balig Shadrack—peristiwa penting bagi William, ayahnya, yang reputasinya dipertaruhkan—saya jadi teringat ayah saya, yang wafat pada Juni lalu di usia 91. Saya juga teringat anak saya, 17 tahun, Oliver, yang saat itu sedang tidur di New York City. Atau barangkali dia belum tidur. Mungkin dia berbaring di kasur dengan laptop, menonton film dokumenter olahraga atau film Hollywood.
Alangkah berbedanya kedua jalan yang ditempuh oleh sepasang anak lelaki ini. Padahal tujuannya sama. Baik Shadrack maupun Oliver berkembang menjadi lelaki dalam kandungan karena bermandikan testosteron sebelum lahir. Keduanya sedang mengalami transisi penting, berubah akibat pengaruh hormon menjadi pria dewasa secara fisik: bulu badan, otot membesar, bahu melebar, seksualitas berkembang, menyukai risiko, serta lebih agresif. Keduanya mulai menunjukkan kecenderungan dan pola perilaku yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi.
Akan tetapi, Shadrack menginjak kedewasaan dalam budaya yang sangat membedakan peran lelaki dan perempuan, dan anak lelaki mengikuti adat yang setidaknya berjalan selama 200 tahun. Di sisi lain, Oliver menginjak dewasa dalam budaya Amerika yang semakin tak membedakan jenis kelamin. Amerika sudah meninggalkan definisi lelaki dan perempuan berdasarkan anatomi. Bahkan, pada 2016, Departemen Kehakiman, Pendidikan, dan Pertahanan AS menegaskan kebijakan antidiskriminasi yang mengakui identitas gender pilihan pribadi.
Tidak seperti Shadrack, Oliver tidak bisa mengandalkan peran tradisional lelaki dan perempuan untuk mengetahui makna menjadi lelaki. Demi kesetaraan, stereotip gender dijungkirbalikkan atau ditinggalkan. Dia sudah terbiasa melihat polisi wanita atau perawat lelaki.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR