Di lingkungan kami, juga tidak ada ritual atau upacara inisiasi yang jelas menandai perubahan Oliver dari anak-anak menjadi dewasa. Dengan kata lain, kedewasaan adalah sesuatu yang harus dipahaminya sendiri. Terkadang dia juga mencari-cari makna lelaki—dia sangsi dengan sosok lelaki yang saya contohkan karena, seperti katanya, “Papa menumpangkan kaki seperti anak perempuan.” Dan terkadang ketika dia merasa dituntut untuk berprestasi—ujian, makalah, nilai, pertandingan basket—saya juga melihat dia berusaha tegar, tidak jauh berbeda dengan ketegaran Shadrack saat menghadapi tantangan beratnya. Oliver pemalu, dia menyembunyikan perasaannya agar tidak dianggap kurang jantan. Dia berhenti bermain flute karena dialah satu-satunya anak lelaki di bagian itu. Dia duduk dengan menumpangkan pergelangan kaki di atas lulut. Simbol kejantanannya adalah Michael Jordan dan George Clooney. Pada ulang tahun ke-15, dia meminta jas.
Para ilmuwan dan cendekiawan tidak dapat memberikan penjelasan gamblang. Pertanyaan seputar kejantanan dan maskulinitas telah berabad-abad menjadi bahan perdebatan terkait kebudayaan dan biologi, secara politis—ada yang berpendapat itu budaya, ada yang berpendapat itu biologis. Ahli antropologi dan sosiologi umumnya mendukung argumentasi budaya, berpendapat bahwa kejantanan adalah buatan masyarakat. “Lelaki” itu dibuat, tidak dilahirkan, bantah Michael Kimmel, professor sosiologi: “Kejantanan bukanlah perwujudan kodrat manusia… bukan kesadaran yang muncul dari unsur biologis; melainkan dibuat dalam budaya. Bahkan pencarian definisi abadi kejantanan itu sendiri merupakan fenomena sosiologis—kita cenderung mencari yang abadi dan eksternal...ketika definisi lama tidak lagi berlaku dan yang baru belum mantap.”
Beberapa sarjana dan ilmuwan feminis berpendapat bahwa perbedaan gender merupakan buatan manusia, dan yang dianggap sifat lelaki sama tidak hakikinya dengan perbedaan warna pakaian bayi yang disediakan rumah sakit. Tidak diragukan lagi bahwa memang banyak stereotip gender mengenai perbedaan kecerdasan, naluri menyayangi, rasionalitas, serta emosi lelaki dan perempuan yang dibentuk oleh budaya. Namun, seperti kebanyakan orang tua yang membesarkan anak lelaki dan perempuan, saya bertanya-tanya adakah hal lain di luar sosialisasi budaya di balik perilaku, yang tampaknya muncul tanpa arahan ayah bundanya. Oliver sejak kecil gemar melempar-lempar bola. Dengan alasan yang sama, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam daripada sosialisasi budaya, di balik kesenangan adiknya, India, bermain boneka? Jauh sebelum dia masuk PAUD, dia biasa memegang boneka di kedua tangan dan menghabiskan waktu berjam-jam membisikkan dialog boneka.
“Perempuan dan lelaki tidak memiliki pikiran yang sama,” tulis profesor psikologi Steven Pinker, dalam bukunya The Blank Slate. Sejalan dengan seleksi alam yang mengharuskannya bersaing memperebutkan sumber daya dan pasangan, penelitian selama puluhan tahun menunjukkan bahwa lelaki lebih mampu menangani tugas mental yang menyangkut memutar objek. (Anak perempuan lebih unggul dalam kemampuan memecahkan-masalah lainnya.) Anak lelaki cenderung lebih agresif secara fisik. Seperti yang ditulis Joe Herbert, profesor emeritus ilmu saraf, anak lelaki juga biasa memainkan boneka, tetapi kemungkinan bonekanya akan ditarungkan.
Sebagian perilaku agresif dapat dikaitkan dengan kadar testosteron, yang, mulai sekitar usia 10 dan memuncak di akhir belasan. Kadar ini biasanya lebih dari 10 kali lebih tinggi pada anak lelaki, dibandingkan anak perempuan. Penelitian yang terbit pada 2013 dalam Journal of Cognitive Neuroscience mengungkap hubungan antara perilaku mengambil risiko dengan tingkat testosteron, pada remaja lelaki dan perempuan.
Dalam penelitian, peserta bisa mendapatkan uang dengan menekan pompa yang mengisi balon. Namun, jika balon meledak, pemain akan kehilangan uang hadiahnya. Peneliti menemukan, peningkatan kadar testosteron terkait dengan pengambilan risiko pada anak lelaki maupun perempuan. Bedanya, anak lelaki lebih menyukai sensasi ledakan balon kendati harus kehilangan hadiah, sementara anak perempuan dengan kadar testosteron yang relatif tinggi, lebih ingin mempertahankan hadiahnya.
Mungkin salah satu contoh terjelas pengaruh biologi terhadap banyak unsur maskulinitas, adalah kondisi genetik langka yang disebut sindrom insensitivitas androgen. Bayi lahir dengan kromosom Y dan karena itu secara biologis lelaki, tetapi tubuhnya tidak dapat memproses testosteron dan otomatis fenotipe yang terbentuk adalah perempuan. Mereka memiliki bentuk tubuh dan sifat perempuan. Mereka merasa diri mereka perempuan. Namun, karena mereka memiliki testis alih-alih ovarium dan rahim, mereka tidak bisa melahirkan. Sindrom ini, tulis Herbert dalam bukunya Testosterone, “menunjukkan dengan sangat jelas bahwa testosteron merupakan akar hal yang kita sebut sebagai maskulinitas.”
Maka, begitu fajar menyingsing—didorong tuntutan budaya Bukusu dan testosteron yang menurut ilmuwan kadarnya lebih dari 1.200 nanogram per desiliter dalam aliran darah remaja putra—Shadrack berjalan ke utara menuju Sungai Chwele tak jauh dari situ. Dia dikelilingi lebih dari 30 lelaki dewasa dan anak-anak.
Mereka terus bernyanyi sambil berlari menyusuri jalan tanah merah, melintasi ladang jagung dan tebu. Pada pukul tujuh kurang seperempat, lonceng dan gelang logam Shadrack dilepaskan. Anak itu melepaskan celana pendek cokelatnya. Dia berjalan telanjang menuruni tebing berumput ke sungai. Pamannya mengiringi. Di balik gelagah, Shadrack membasuh kotoran sapi dari tubuhnya. Saat dia kembali, badannya berlumur lumpur kelabu tua. Setangkai rumput menancap di rambutnya seperti jambul burung northern lapwing.
Kini, arak-arakan itu kembali menuju selatan ke rumah ayah Shadrack, berlari melintasi rute lain untuk menghindari tenung jahat. Mereka menyanyikan lagu suku Bukusu, lagu sunatan sioyayo yang terkenal, mengejek suku Luo—suku Kenya— yang menjadi musuhnya. Di suku Luo, upacara menginjak akil balig adalah dengan mencabut gigi bukan bersunat. “Orang yang takut disunat pergi ke Luo saja.”
Banyak orang—lelaki, perempuan, besar, kecil—menunggu di kampungnya. Shadrack berjalan ke halaman. Dia menghadap ke barat, secara simbolis menyaksikan akhir masa kanak-kanaknya. Tidak pernah mati gaya, Shadrack meletakkan tangan kiri di pinggang dan mengacungkan tangan kanan ke atas kepala. Tukang sunat berjongkok di depannya. Operasi itu selesai dalam hitungan detik. Shadrack tak berkedip atau menunjukkan bahwa ia merasa sakit. Bahkan, saat tukang sunat meniup peluit menandakan operasi selesai, dan bibi serta ibu Shadrack serta wanita lainnya melolong riang, Shadrack mulai berjingkrak-jingkrak.
Ayah dan paman Shadrack serta lelaki lainnya bergegas memeriksa hasil sunatan. Shadrack menggigil, mungkin karena kaget, lalu duduk saat kaum perempuan membalut tubuhnya dengan kain warna-warni.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR