Situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur masih menyimpan begitu banyak misteri mengenai peradaban Kerajaan Majapahit. Para ahli arkeologi dan sejarah memperkirakan peradaban kerajaan berkembang sekitar 200 tahun, mulai berdiri sejak 1293 hingga runtuh sekitar tahun 1521 M.
Bagai mencari kota yang hilang, penelitian dan penggalian arkeologis terus dilakukan hingga saat ini. Menurut Mundardjito, dewan pakar National Geographic Indonesia, Kamboja memiliki peninggalan peradaban berupa Angkor Wat, Peru menyimpan Machu Picchu, Italia dengan reruntuhan Pompeii, dan Yunani terdapat Acropolis di Athena, sementara Indonesia hanya punya Trowulan yang sampai sekarang pun belum tergali sempurna.
“Penentuan batas kota dan tata kota pun masih menjadi misteri. Apakah mereka menentukan batas dengan menggunakan konsep astronomi seperti pelaut. Kami juga belum dapat memastikannya,” ujar Junus Satrio Atmodjo, staf ahli Menteri Parwisata dan Ekonomi Kreatif saat kami jumpai pada Senin (23/1).
Junus yang juga Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia menegaskan bahwa Kota Majapahit mengedepankan konsep mandala. Artinya, raja yang berkedudukan di sana memiliki dua makna: mewakili dunia supranatural dan melakukan pengaturan di dunia.
Di sisi lain, Junus juga menyebutkan bahwa Trowulan mendapatkan tekanan sejak tahun 1990-an. Masyarakat melakukan tindakan destruktif lantaran desakan kebutuhan hidup. Sedikitnya ada 5.000 keluarga yang menggantungkan hidup pada industri batu bata, yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit. Tindakan destruktif sebagian masyarakat berjalan terus-menerus dan semakin meluas.
Itu sebabnya, untuk menyelamatkan situs Majapahit, Junus mengatakan bahwa kepentingan kebudayaan harus menjadi konsep terdepan. “Kita harus tanggung jawab kepada masyarakat sekitar dan negara. Kita melakukan penelitian pada lokasi yang pemiliknya adalah masyarakat sekitar,” ujar Junus.
Dengan menempatkan konteks kebudayaan pada situs Majapahit, kita akan dapat melihat bagaimana proses budaya yang terjadi di kerajaan itu. Hal ini lah yang kerap terlupakan oleh para pemangku kepentingan. “Pariwisata itu hanyalah pilihan, tetapi kepentingan kebudayaan adalah kewajiban.”
Beberapa tahun silam, polemik mengenai pembangunan proyek Pusat Informasi Majapahit sempat mengemuka. Para ahli arkeologi menyatakan keberatan atas pembangunan proyek yang menjadi bagian dari rencana besar membangun Majapahit Park. Lantaran terkesan dipaksakan dan dilaksanakan tidak melalui prosedur yang seharusnya (Oleh: Didi Kasipi Kasim. Foto: Mahandis Y. Thamrin)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR